29. (Se)pasang Ombak Laut

108 20 14
                                    


Tim satnight or sadnight, nih?

Bila ditanya, apakah sepasang sahabat yang tengah berselisih kecil itu jadi mengunjungi Harviz?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bila ditanya, apakah sepasang sahabat yang tengah berselisih kecil itu jadi mengunjungi Harviz?

Maka jawabannya adalahㅡ

Tidak.

Mereka mengurungkan niat hendak bersilaturahmi pada rumah lelaki yang sering Cia sebut sebagai Harviz. Jika sang puan kukuh dengan pendiriannya untuk tetap ke sana, maka yang terjadi bukanlah silaturahmi, tetapi baku hantam lah yang akan terjadi. Membaca garis wajah tuan muda Bahari saja telak membuat taruni ayu itu menelan pahit keadaan. Jadi, mau tak mau pun nona bersurai coklat tersebut meminta Jenan untuk mengubah rute jalan menuju tempat yang sering dikunjunginya, yakni Panti Asuhan.

Butuh sekitar dua puluh menit untuk sampai di sana dengan barang belanja yang tentu saja sudah Cia list di ponsel sebelumnya. Ia tak lupa, sebab memang sudah berencana mengunjungi, setidaknya dua hari yang lalu. Namun belum sempat, karena dirinya terkena demam waktu itu. Dan saat ada kesempatan, barulah dia mengajak Jenan pada rumah ‘kedua’ yang selalu dirindukannya hingga penghujung malam.

Perihal Cia yang ingin bertemu Harviz, sebenarnya itu hanya akal bulusnya saja. Ia hanya mengetes seberapa sensi seorang Jenandra Satya Bahari jika itu berkaitan dengan Harviz, dan ternyata seperti dugaannya, lelaki itu betulan sebal dengan Cia.

Cemburu bilang aja, mas.

“Oit, baso! Udah sampe, nih!”

Asyik melamun di boncengan belakang, justru lelaki itu menginterupsinya dengan suara bariton. Tak lupa Jenan mendaratkan jitakan keras di pucuk helm Cia tanpa berbelas hati. “Ngelamun tuh jangan dijadiin hobi!” tegurnya mengingatkan.

Taruni itu sontak mengerjapkan mata karena terkejut, kemudian menatap tajam si pelaku dengan sekejap saat menyadari ulah tersebut berasal dari Jenandra. Lidahnya mendecak seraya mencubit pinggang si sulung sebelum turun dari jok motor.

“Kebiasaan nyubit lu!” keluh Jenan seusainya.

“Ga enak nyubit lu, gak ada dagingnya,” celetuk jujur dari si lawan bicara. Ia berujar demikian sambil menatap gerak-gerik Jenan yang menurunkan side stand switch motornya. Sang tuan kini jua melepas helm yang dikenakan sembari mendengus kecil. “Ya lu cubitin mulu. Mana bisa jadi daging.”

“Itu tuh bentuk pembalasan gue ke lo, Jen!” sahut Cia tak terima. Wajahnya mengerut tak suka, menentang kebenaran.

“Pembalasan apa, sih?” tanyanya bingung. Hasta miliknya tengah mengambil barang belanjaan berat di tangan Cia.

Mendecak lagi. “Pipi gue yang jadi sasaran lo mulu. Lama-lama pipi gue bisa lembek gegara lu cubitin!”

Jenan yang mendengar hal itu mulai menerbitkan senyum. Terkekeh akan raut Cia yang kian memerah menahan kekinya laki-laki itu. Tapi bukannya terlihat galak, kini Acacia terlihat begitu…

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang