31. [🎵] Benang Merah Agustus

112 13 4
                                    

Siapkan jantung, chapter ini angst betul :D
Boleh di-play ya lagunya di mulmed

Siapkan jantung, chapter ini angst betul :DBoleh di-play ya lagunya di mulmed

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Aku ambilkan, ya?"

Menggeleng singkat. "Aku bisa sendiri." Hastanya beralih untuk mengambil piring kosong dan mengisinya dengan makanan yang sudah tertata rapi di meja.

"Senㅡ"

"Stop, Disa," potongnya. Hasta besarnya terjulur pada sang wanita, berupa penolakan keras. "Kalau kamu mau ngobrolin tentang pernikahan lagi, lebih baik aku nggak jadi sarapan," lanjut pria itu kembali.

Mengambil napas dalam-dalam, lawan bicaranya menggigit bibir kencang. Anca jemari Disa terkepal erat hingga buku-buku jemarinya memutih untuk menahan gejolak yang meletup-letup di dada. "Aku tunggu di ruang tamu," final sang gadis kemudian. Betisnya mundur beberapa langkah dengan wajah memerah menahan rasa yang tak bisa ia jabarkan secara detail.

Di ruang makan, daksa yang lebih muda menghela napas berat. Mood-nya berantakan semenjak Ayudisa kembali mendatanginya, hingga menu sarapan saja rasanya sudah tak enak lagi di matanya.

Sudah dua bulan ini mereka berseteru. Tak ada arah, tak ada petunjuk, bahkan tak ada kata 'damai' di antaranya. Sulit.

Jujur, si tunggal Gandhi itu belum menemukan clue yang jelas. Belum menemukan secercah harapan dari fragmen ingatan miliknya. Fragmen tersebut masih berserakan, belum sepenuhnya terbentuk menjadi satu yang padu.

Dalam diam menikmati sarapan di rumah ibunda, ia berpikir sekali lagi.

Betulkah ia dan Ayudisa telah menikah setahun yang lalu?

Atau Ayudisa justru berdusta akan segalanya?

Entahlah, ia tak tau...

Bangkit dari kursi kayu, ia melenggang pergi menuju Ayudisa yang kini duduk menyendiri di sofa. Televisi menyala, tapi pandangan sang wanita nampak kosong. Kemudian Sena pun duduk di sampingnya tanpa mengucap kata.

"Aku ragu... kamu ingat aku lagi."

Sena menunduk, menatap bulu furr karpet sofa yang lembut di kakinya. "Maaf, aku cuma ingat kamu sebagai tunanganku."

Menelan ludah serat. Kerongkongannya terasa perih hanya untuk sekedar menelan pahitnya fakta. "Setiap hari aku sakit, Sena... pikiranku kacau saat aku sadar, semua ini salahku." Ia meremat celana piyama di pangkuannya.

"Aku tahu kamu berusaha untuk mengingatkanku dari masa lalu, tapi kamu tahu sendiri 'kan apa kata Bunda? Memulihkan ingatan itu nggak bisa dipaksa," ujar Sena mengingatkan.

Raut wajah berantakan itu terpampang jelas di samping Nawangga Senapati Gandhi, basah oleh air mata. Ia melihatnya dengan jelas bahwa Ayudisa kembali menyesal akan setiap kata yang keluar dari ranum sang tuan.

"I know. Tapi aku bakal terus berusaha."

Sena menghela napas berat. "Kalau aku nggak bisa ingat satupun gimana? Apa kamu bakal terus menyuruh aku untuk mengingat semua?"

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang