18. Antonim

142 30 44
                                    

Some scenes are mature content.
So, be a wise reader. Thank you.

Kehidupan mereka telah kembali pada keadaan semula

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kehidupan mereka telah kembali pada keadaan semula. Tama dengan kesibukannya seperti biasa mengunjungi kafe miliknya, Ayudisa dan Sena yang kini disibukkan dengan berbagai aktivitas lainnya.

Dalam hunian bernuansa sederhana namun luas dipandang mata, ada sejoli insan yang tengah berkutat dengan sesuatu. Sang puan sibuk menyiapkan sarapan dan tuannya pun baru saja mandi pagi.

“Pagi, sayang.”

“Eh, pagi,” balasnya sambil menoleh sekilas, sebelum menyibukkan diri lagi. “Sarapan dulu, yuk?”

Tak ada sahutan lagi setelah itu, karena Sena kini berdiam diri sambil memeluk istrinya dari arah belakang. Ia mengait pinggang ramping Ayudisa dengan kedua lengan kekarnya. Jangan lupakan air yang masih menetes dari ujung surainya, mengenai tengkuk gadisnya.

“Sarapan, Sena,” ulangnya lagi. Mau tak mau ia pun juga harus menahan tubuh suaminya yang selalu menempel bagai koala.

Mulai deh, manjanya keluar, Ayudisa berkata dalam hati.

Namun respon lawan bicaranya berbeda dari yang diharapkan. Lelaki dengan tinggi seratus delapan puluh lebih itu menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya. “Males sarapan, kecuali disuapin.”

Mendengar Sena berkata demikian, Ayudisa berbalik arah menjadi berhadapan dengan pemuda Desember. Ia pun juga berusaha melepaskan diri dari belenggu Senapati. Tapi hasilnya sama saja, berakhir sia-sia, lantaran tenaganya tak bisa menandingi lelaki di belakangnya ini.

“Kita hari ini kuliah, belum lagi nanti kamu harus ke kantornya Ayah buat kerja. Sarapan dulu dong biar ada tenaga buat aktivitas,” peringat nonanya dengan nada menekan. Bibirnya sedikit mengerut dengan alis yang ikut tertekuk di hadapannya.

Terkekeh kecil sambil mempertahankan posisinya mengurung sang gadis di meja makan. Kedua lengannya bertengger pada meja portable dan menjadikan posisi Ayudisa berada di tengah-tengah lengannya.

“Iya-iya... nyonya kok marah-marah mulu kenapa, hm? Lagi red day apa gimana?” Alis tebalnya terangkat dan tersenyum-senyum penuh makna.

Yang ditatap sedemikian intensnya, kelenjar salivanya terteguk kasar. Mengingat posisi ini bisa membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

“J-jauhan, ih. Ayo sarapan, nanti kita bisa terlambat lho,” ujarnya dengan kaku, mengalihkan topik. Netranya pun berpaling dari sang empu agar jantungnya terselamatkan dari ombak kencang yang diakibatkan oleh Sena.

Tapi sang lelaki justru mendekatkan wajahnya seraya menjawab sekenanya, “Iya-iya, aku sarapan. Lagi laper juga.”

Netranya menatap tajam, seolah muncul laser di dunia komik. “Tuh ‘kan! Makanya minggir dulu, Sena. Terus sarapan. Nanti dosennya keburu dateng, lho,” Ayudisa mengulangi kalimatnya sekali lagi. Hastanya berusaha mendorong bahu lebar Senapati agar ia terlepas dari belenggu mendebarkan ini.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang