32. Polaroid

87 15 5
                                    

Enjoy reading, fwends!

Tidak mudah rasanya, jika kita yang awalnya hidup berdampingan, kini harus berjalan masing-masing karena memiliki perbedaan pendapat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak mudah rasanya, jika kita yang awalnya hidup berdampingan, kini harus berjalan masing-masing karena memiliki perbedaan pendapat. Yang awalnya bisa menggenggam tangan sembari mengulas senyum, kini hanya bisa melamun hingga tak sadar tersandung batu.

Jangan tanya bagaimana kondisi mereka berdua. Walau memutuskan untuk berpisah, pasti setidaknya ada ruang kosong yang ditinggalkan pemiliknya. Hati manusia mungkin bisa berubah, namun tak secepat itu prosesnya. Begitupula dengan Nawangga Senapati Gandhi.

Laki-laki yang semakin tampan dengan daksa agam itu disibukkan dengan berbagai macam berkas kantor sang ayah. Tumpukan menyebalkan yang tak ada habisnya, membuat jemala Sena kian pening. Kedua kenarinya berkunang-kunang hingga berdenyut nyeri. Sudah berulang kali ia mengernyit sakit pada matanya karena lama menatap bidang elektronik di hadapan sang adam. 

Hari sudah semakin larut, bulatan candra yang menggantung manja dengan gumulan kapas menutupi figurnya, menjadi suasana terkini di kantor sang ayah. Sesekali ia menatap jarum jam yang terus berdetak pada arloji miliknya. Tapi entah kenapa, fokusnya mengabur kala ponsel Sena terus menampilkan layar yang sama. Gelap, enggan  menampakkan satupun notifikasi di sana, seolah tak ada kehidupan. Biasanya ada belasan hingga puluhan notifikasi yang akan memenuhi layar tersebut, namun sekarang… tidak lagi.

Jemarinya berhenti mengetik, lanjar mengambil gawai pintar tersebut sembari menyandarkan daksa kuyu pada bantalan empuk yang didudukinya.

Sepi… seperti ada yang hilang dari hidupnya, tapi sang adam tidak menemukan satupun petunjuk. Raganya merasa kehilangan, tapi jiwa Sena tak bisa membantu untuk menemukannya.

Ketika sang wira menatap kosong pada ponsel di genggaman, muncul sebuah dering yang membangkitkan kesadarannya.

“Pulang, Nak. Sudah jam berapa ini?”

Ah, ibundanya.

Senapati menghela napas usai menatap arlojinya kembali. Pukul 12 kurang 20 menit cukup mengejutkan sang adam yang sedang dalam panggilan itu. Ia pun lekas menjawab dengan sanggahan, “Bentar, Bunda. Tinggal sedikit lagi, kok. Nanti Sena langsung pulang kalau sudah sele—”

“Kebiasaanmu dari dulu nggak pernah berubah.” Prakatanya diputus sepihak oleh yang lebih tua. Terdengar decakan tak habis pikir dari sang wanita. “Boleh ambis, tapi jangan diforsir terus badannya. Masih ada waktu besok. Serahkan semuanya sama hari selanjutnya. Kalau gitu terus, Sena bisa capek lho, Nak. Nggak bakal dimarahin Ayah, kok. Dilanjut besok lagi, ya?” bujuk telak dari ranum yang lebih tua. 

Si tunggal Gandhi tersebut menutup kelopak matanya sejemang seraya mengangguk pelan walau sang ibu tidak mengetahuinya. Ia pun membuka bibir untuk menanggapi penuturan dari perempuan kesayangannya. “Iya, Bun. Sena pulang sekarang,” final Sena, mau tidak mau ia harus menuruti.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang