16. Senam Jantung

168 31 32
                                    

Tama telah tiba pada alamat yang telah dibagikan kepadanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tama telah tiba pada alamat yang telah dibagikan kepadanya. Dia mengambil barang tersebut dan melangkahkan kakinya keluar dari kereta besi. Sang tuan pun berdiri di depan pagar sambil mengirim pesan teks kepada si pemilik rumah.

Ia menunggu bermenit-menit lamanya, tetapi sang empu belum juga menampakkan batang hidungnya. Keadaan rumahnya gelap, seperti tidak ada kehidupan.

“Jangan-jangan gue salah rumah, nih,” monolognya sambil mencuri pandang pada bangunan bertingkat di hadapannya. “Apa gue masuk aja ya? Gerbang juga lagi gak dikunci gini,” pikir Tama menimbang-nimbang.

Kemudian dengan langkah berani, betisnya dirajut menuju jalan setapak yang menghubungkan dengan pintu utama milik si nona. Sambil membawa barang yang tak sengaja tertinggal di jok penumpang belakang, dirinya mulai mengetuk daun pintu setinggi dua meter lebih itu.

Dua kali ketukan tidak ada sahutan, tinggal satu kali lagi jika tidak kunjung dibuka, maka Tama akan pamit undur diri.

Namun belum sampai Tama mengetuk yang ketiga kalinya, dia memundurkan langkah dan mendapati daun pintu mulai terbuka. Disusul dengan raut wajah lega dari puan yang sedang menggendong bayi berumur satu tahun yang terus menangis.

“Halo Tama... maaf tadi aku lagi di belakang jadinya nggak dengar,” ucapnya tidak enak hati. Dirinya mempersilakan Tama untuk masuk ke dalam.

Menggeleng ringan. “Santai. Gue aja baru dateng kok.” Tangannya memberikan bingkisan yang berisi kebutuhan sang bayi yang tadi tertinggal di mobilnya. “Ini punya lo.”

“Makasih banyak Tama,” ujarnya melega dengan gurat sungging pada ranumnya. “Hasya tadi nangis terus minta minum, ternyata botol sama susu formulanya ketinggalan di kamu.”

Gadis itu, Atisha. Pemudi nol dua bersurai panjang tersebut hendak beranjak dari kursi setelah mempersilakan tamunya untuk terduduk. Namun melihat bagaimana Atisha yang kesulitan membawa tubuh bayi yang terus menangis itu ke sana kemari, Tama lekas bertindak sesuai hatinya.

“Hasya mending sama gue aja,” ujarnya tiba-tiba menawarkan bantuan. Dirinya berdiri dan menatap kaku Atisha yang berkedip kecil mengamati Tama. Jaka Batavia itu lekas mengalihkan pandangan sambil berkata-kata. “Biar lo nggak kesusahan aja, sih.” Tedeng aling-alingnya. Menutupi maksud dari ucapan sebenarnya.

Alisnya terangkat, matanya membulat saat tubuh tegap sang bahuwarna mulai mendekat ke arahnya. Sang gadis pun terhenyak saat lengan lelaki itu mulai mengambil alih bayi mungil di gendongan Atisha layaknya profesional.

Gadis itu sampai heran, mengapa Tama terampil sekali saat menimang-nimang makhluk kecil nan menggemaskan itu?

Dalam diam, Salmadina Atisha menahan senyumnya agar tidak mekar bagai bunga di taman. Dirinya menatap Tama lamat-lamat yang sedang menimang bayinya yang telah terlelap di pelukan hangatnya.

Aduh, pemandangan ini nggak baik buat hatiku... batin Atisha seraya kembali dari dapur. Sesekali dia memukul pipinya sendiri saat pikirannya melayang ke ruang hampa.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang