21. Belum Siap Kehilangan

199 29 6
                                    

Hi, enjoy reading!

Hi, enjoy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



“Maaf, baru datang.”

“Gak pa-pa.”

Ia menelan ludah serat. “But you didn’t,” balasnya sambil mencuri pandang pada seorang gadis di sampingnya yang tengah memandang lampu taman.

Am I?” Kini sepasang netra bening tanpa gairah itu membalas tatapan lelaki yang masih lengkap dengan pakaian kuliahnya. “Aku rasa, nggak.”

“Kalau mau nangis, nggak pa-pa. I’m here for you,” Jenan membalas lembut.

Mendecak kecil, tetapi sekarang dirinya tak berani menatap lekat iris mata tersebut di bawah gumulan mega kelabu.

“Cia,” panggilnya saat sang empu tak menggubris Jenan. Hastanya menepuk-nepuk pundak sempit itu dengan tempo teratur. “Ci-”

Belum sempat dirinya memanggil lagi, ia tersentak kaget saat perempuan bernama Cia meloloskan suaranya.

“Buat apa? Buat apa aku nangis di hadapan orang yang sama sekali nggak peduli dan nggak mau tau tentang keadaanku??” Cia berdiri dari tempatnya dan  membalikkan tubuh menghadap Jenan.

“Tapi lihat sekarang? Di saat aku benar-benar terpuruk, kamu pun baru datang seolah pahlawan kesiangan. Sebelumnya, kamu ke mana aja, Jenan?!” Di akhir kata, ia mengeraskan suaranya. Intonasi bicara Cia naik beberapa oktaf dengan lelehan air mata yang kini turun bagai gerimis.

Dadanya sesak, lahar panas mengucur deras, bersamaan pundak yang kian bergetar. “A-aku pikir kita berteman. Ternyata aku salah pernah menganggap omongan kamu dulu seperti sebuah janji. ‘Gunanya teman itu ada di saat suka maupun duka ‘kan?’ Bohong kamu, Jenan! Pembohong besar!” Jemarinya menunjuk-nunjuk lelaki itu dengan suara yang menyalak-nyalak.

Jenan tertegun.

Berhadapan dengan teman seperkuliahan, berbagi rasa suka maupun duka nyatanya tidak semuanya dirasakan oleh perempuan itu. Jenan merasa, Cia hanya mendapat bagian suka, tidak dengan perasaan duka yang butuh untuk didengar. Lelaki tersebut nyatanya hanya ada saat Cia senang, bukan di saat gadis bernetra gelap itu sedih akan kehidupannya.

Jenan merasa, ini tidaklah adil.

Perlahan, ia bangkit dari lungguhnya dan menyeret sneakers kusut dengan tali yang sudah menggesek tanah. Jemarinya berusaha menggapai bahu kurus itu menuju pelukannya. Tetapi ucapan pemudi bersurai panjang membuat gerakannya terhenti.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang