❝ Terima kasih telah hadir
untuk menyempurnakan
separuh hidup dan juga
nyawaku ❞
✧ ft. 박성훈 ENHYPEN ⊹ ☽
and millenials
⚠️17+
Highest Rank⤵️
1# bait, klausa
3# psh
9# jooyeon
10#...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cahaya berbinar kuning pada sebulat penuh rembulan menjadi figur sampingan yang menaungi anak manusia. Berlatarkan praja Batavia, jendela yang terbuka lebar itu memberi celah bagi wulan untuk membiaskan sinarnya. Sayup anila terembus pelan, membelai dan meniup-niup sepucuk rambut milik seorang wanita.
Sudah terhitung beberapa jam terlewat, masih saja tak ada tanda-tanda suara ketukan dari balik daun pintu. Perempuan bersurai gelap yang sedang duduk bersandar pada headboard itu melamun sambil menggenggam sebuah ponsel. Layarnya gelap, bagai seri muka Ayudisa. Walau raganya berada di sini, namun pikirannya melanglang buana, tak tentu arah.
Berulangkali dirinya menghubungi suaminya yang entah sedang berada di mana. Bahkan beberapa teks sudah ia kirimkan melalui ikon hijau dengan beruntut. Tapi tak kunjung dibalas juga.
Sebenarnya, Sena di mana?
Itu yang mengisi pikirannya sekarang.
Khawatir, risau, dan sepercik rasa takut pun melebur menjadi satu. Membuat bayang-bayang ambigu dalam labirin otaknya.
Bahkan, Ayudisa telah mengirimkan balon teks pada Jenan, Tama, hingga Ibu mertuanya, hanya untuk menanyakan keberadaan kepala keluarga itu.
Tapi hasilnya? Nihil.
Katanya, mereka tidak bertemu dengan Nawangga Senapati Gandhi hari ini.
Kini, ia jadi merasa bersalah. Apa perkataannya tadi terlalu kasar dan mampu melukai hati Sena?
Jika pikirannya ini bagaikan sinyal, mungkin benang membentang itu sungguh bercabang. Berkelana tak tau tempat dan terasa sesak.
Mungkin, Sena betulan marah padanya, hingga belasan panggilan, tak dijawabnya walau itu satu.
Padahal, bukan ia saja yang marah, Ayudisa juga. Karena mau bagaimana pun, ini harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Bukan hanya satu pihak saja. Mereka sama-sama mengedepankan ego, labil, dan masih mencari jati diri.
Ia tak ingin ini semua menjadi rumit. Sudah cukup dengan perjodohan wasiat, jangan lagi terulang permasalahan yang hebat seperti waktu ‘itu.’
Dalam lamunannya, perlahan Ayudisa mengatupkan netranya sejenak. Kedipan yang ia lakukan tersebut sukses menciptakan bulir kesedihan yang meluncur bebas hingga membanjiri pipinya. Ia mengusapnya pelan sambil berharap bahwa Sena akan kembali sebentar lagi.
“Sena… kamu di mana. Tolong jawab teleponku…” monolognya resah, sembari menatap layar ponsel yang terus berusaha memanggil atensi dari si pemilik nama.
***
Dentang-denting waktu mungkin terus bergulir. Ia bergegas terlalu cepat untuk sampai pada tujuannya. Gegabah ‘tuk meraih segalanya dalam satu waktu yang mustahil itu.