Niko menatap Sabine dengan perasaan cemas ketika mereka berdua sudah berada di ruang pengambilan sperma di sebuah klinik kecil di pusat kota Melbourne.
"Sabine...," desah Niko. Dia sangat gelisah.
"Om nggak siap," ucapnya.
Sabine menghela napas. Dipandangnya pe....s Niko yang memang tidak bereaksi saat dia berusaha memainkannya.
"Ok, Om. Nggak papa. Aku ngerti perasaan Om. Kita kasih pengertian ke Papa kalo Om nggak bisa."
Sabine kembali memperbaiki celana Niko, merapikannya.
Sudah hampir setengah jam mereka berdua berada di dalam ruangan itu. Niko yang gelisah tidak kuasa menenangkan dirinya.
Sejak semalam, Niko memang terlalu memikirkan kelemahannya. Kenangan buruk dan trauma terus menerus menghampiri benaknya. Terutama saat dirinya dulu membuka surat dari dokter andrologi yang menyatakan bahwa alat reproduksinya mengalami disfungsi.
Sabine mencuci tangannya. Pikirannya mulai berkecamuk. Sedikit menyesali sikap papanya yang berlebihan menurutnya. Ini terlalu dini. Dia sangat iba dengan perasaan suaminya.
Tiba-tiba Niko memeluk Sabine dari belakang.
"Om? Ada apa?" tanya Sabine lembut. Dia tahu Niko masih diliputi kegelisahan hebat.
Niko masih memeluknya tanpa berkata apa-apa.
Sabine mengusap-ngusap lengan Niko yang melingkar di pinggangnya.
"Om Niko sayang. Nggak ada yang perlu diresahkan. Aku juga nggak akan ke mana-mana kok. Sebaiknya Om hilangkan perasaan-perasaan gelisah Om. Om sendiri dulu sering ngasih tau ke aku kalo aku nggak perlu cemas. Ingat dulu saat Om hendak pergi meninggalkan aku karena akan menikah dengan Tante Evi. Aku benar-benar nggak siap kehilangan Om dulu. Berat."
Sabine menelan ludahnya sejenak.
"Kehilangan orang yang selalu mendekap kita seharian itu seperti kehilangan setengah nyawa. Dan usiaku dulu masih sebelas. Om bayangkan. Aku bingung harus mengadu ke siapa saat itu. Malu kalo aku curhat ke Mama atau Mbak Erni. Aku sadar karena masih terlalu kecil merasakan jatuh cinta. Tapi akhirnya aku terbiasa juga."
Niko masih mendekap Sabine. Napasnya yang sebelumnya memburu, kini perlahan mulai melemah. Niko lebih relaks. Apalagi Sabine tak lelah mengusap-ngusap punggung tangannya.
"Seharusnya Om Niko lebih tenang sekarang. Ada aku, ada Papa. Nggak ada yang pergi. Kalo hasilnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, tidak perlu cemas. Kita tetap sama-sama. Kita hidup sama-sama. Kalo hasilnya sesuai yang kita mau, kita juga akan sama-sama. Terus, apa yang Om takutkan?"
Niko meletakkan dagunya di bahu kiri Sabine. Matanya terpejam.
"Seharusnya Om bisa kayak aku dulu. Menuruti nasihat-nasihat Om. Jangan cemas, jangan khawatir, nanti lama-lama terbiasa. Ayo, kamu bisa, kamu bisa mandiri, kamu bisa cebok sendiri, kamu bisa jahit baju sendiri, kamu bisa berteman..., kita nggak pisah kok, ntar bisa main sama-sama lagi...,"
Sabine mengerjapkan matanya. Mengenang masa-masa gundah yang dia rasakan setelah Niko pergi meninggalkan rumahnya.
"Dan Om nggak nemuin kamu lagi...," respon Niko sambil terus mendekap Sabine.
Sabine menggigit bibirnya. Niko memang tidak menemuinya lagi sejak dia menikah.
"Maaf, Sayang..."
"Nggak papa, Om Niko. Yang terpenting kan sekarang. Aku cuma ingin mengingatkan ke Om Niko bahwa Om nggak perlu cemas. Nggak perlu khawatir. Aku yang kecil aja dulu dengerin nasihat Om. Ini Om udah mau tiga puluh lima."
Niko tergelak.
Sabine melepaskan dekapan Niko. Lalu mereka berhadap-hadapan.
"Gimana? Mau coba?" tanya Sabine dengan senyum manisnya. Ditatapnya dua bola mata Niko dengan tatapan tajam tapi senyum optimis tetap mengulas di sudut bibirnya.
Niko tersenyum. Diraihnya tangan Sabine yang baru dicuci itu, lalu mengecupnya.
"Wangi," decak Niko yang mulai merasa tenang.
"Aku bersihin ulang pe...is Om Niko, ya?" tawar Sabine. Niko mengangguk. Sabine memang pandai membujuknya.
Sabine perlahan membuka kembali bawahan Niko, kemudian membersihkan milik Niko dengan telaten.
"Om Niko fokus ya? Jangan mikir yang nggak-nggak. Ntar habis ini kita senang-senang lagi. Kan nggak lama lagi kita pulang. Papa udah percepat tiket pulang. Katanya keluarga besarnya mau bertemu langsung dengan kita."
Niko hanya mengangguk pasrah.
Sabine pun memulai aksinya. Dia memang pandai.
Ditatapnya wajah Niko dengan wajah sayunya, agar Niko merasa seakan-akan sedang bersetubuh dengannya. Kata-kata cinta dan mesra pun meluncur dari mulut Sabine. Pun pujian-pujian tak lupa Sabine ucapkan.
Niko mengamati wajah Sabine. Kembali dia mengingat cerita-cerita Sabine mengenai nasihat-nasihat yang pernah dia utarakan dulu ke Sabine kecil. Sabine benar-benar menurutinya dulu. Sepertinya kali ini giliran dirinya menuruti kata-kata manis Sabine.
Niko menggigit bibirnya saat merasa ada yang mendesaknya dari dalam tubuhnya. Dibelainya bibir Sabine dengan ibu jarinya. Sabine membalasnya dengan mengulum dan menggigit-gigit kecil ibu jari Niko.
"Sabine, Sayang," desah Niko disertai dengan lenguhan.
Dia sangat lega. Sabine juga. Sinar optimis seakan terpancar dari matanya.
"Kental banget, Om. Nih wadahnya sampe penuh begini. Untung nggak tumpah," ujar Sabine yang sedang menutup wadah kecil berisi sperma Niko.
Niko tersenyum melihat ekspresi Sabine yang tampak tenang. Dia jadi ikut tenang.
Diacaknya rambut Sabine setelah memperbaiki celananya.
______
Ternyata hari itu bukan Niko saja yang diperiksa kesuburannya, Sabine juga. Dia yang malah mengajukan dirinya. Bukan main Niko senang. Sabine memang selalu mendukungnya.
Sambil terus berpegangan tangan, mereka berdua dengan serius mendengar anjuran-anjuran dari dokter yang memeriksa.
"Kita tunggu hasil lab besok. Dan laporannya akan kita kirimkan lewat email. Kuncinya, relaks. Jangan stress," anjur Dokter Aditya, seorang dokter warga negara Indonesia yang sudah lama bekerja di salah satu klinik di pusat kota Melbourne.
"Begadang dikurangi. Ini kayaknya suami nih yang kuat begadang. Bankir soalnya, ngawas-ngawas saham. Hehe...,"
Niko tersenyum simpul mendengar celoteh dokter yang sangat ramah itu. Niko memang pekerja keras. Sebenarnya bisa saja dia bekerja sesuai porsinya, tanpa harus melemburkan diri. Tapi pemilik perusahaan memberi bonus banyak bagi sesiapa yang bekerja lebih keras, Niko tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Sebetulnya dokter-dokter di Indo nggak kalah bagus. Kenapa musti di sini? Kesannya terburu-buru nih."
"Maklum, Dok. Kebetulan kita sedang liburan ke sini. Ada orang tua juga. Beliau menyarankan untuk memeriksa. Mumpung di sini. Pemikiran orang kita kan kebanyakan yang berbau-bau luar terkesan lebih canggih...,"
Dokter Aditya terbahak-bahak mendengar pendapat Niko. Niko sangat santai saat itu. Di samping sikap Sabine menenangkan, juga keramahan Dokter Aditya yang memukau.
"Yah. Biasalah. Tapi ini hal yang sangat bagus. Walaupun kalian masih baru menikah, memang sebaiknya cepat-cepat memeriksakan kesehatan dan kesuburan masing-masing. Lebih cepat lebih baik. Jika memang berniat mempercepat memiliki momongan,"
Niko dan Sabine saling pandang. Lalu keduanya tersenyum. Sepertinya kali ini, Niko merasa lebih optimis.
Ada suasana yang sangat berbeda kali ini dirasakan Niko. Tidak seperti sebelumnnya saat dirinya diperiksa oleh dokter Andrologi di Jakarta. Saat itu Niko tegang dan merasa tidak nyaman. Evi memang tidak memaksa. Akan tetapi hasrat Evi yang menggebu-gebu ingin segera memiliki anak membuat Niko merasa terpaksa memeriksakan dirinya. Dan hasilnya malah membuat dirinya menjadi tidak percaya diri lagi.
Tidak seperti Evi, Sabine memang sangat menenangkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabine (The Unforgettable Girl)
RomanceKisah Sabine yang akhirnya bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Meski harus melewati masa-masa sulit. Selamat membaca kisah ini. Terima kasih... 18+ #1 in agegap (26 January 2021) #1 in sabine(26 January 2021) #5 in apartemen (26 January 2021) #...