Bab 18 | Kekecewaan Amel

7.1K 551 27
                                    

Langkah kaki mereka begitu cepat, mereka ingin segera bertemu dengan Amel. Apalagi mereka tahu bagaimana sikap Amel saat berada dalam situasi seperti ini.

"Bun, perhatikan langkah kaki bunda. Kita akan sampai di tempat Amel sebentar lagi," peringat Azzam memegang lengan bundanya saat sang bunda hampir saja terjatuh akibat bagian bawah dress nya sendiri.

Hanum hanya mengangguk paham dan kembali melanjutkan langkah kaki mereka. Hanya Azzam dan bundanya yang saat ini menuju ke ruangan papa Amel, sedangkan ayah dan Zizi masih berada di lantai bawah untuk mencari beberapa kebutuhan mereka nantinya.

"Amel," panggil Hanum saat melihat gadis itu duduk di atas lantai sambil menyenderkan tubuhnya di dinding dengan bagian wajahnya berada di sela lututnya.

Mereka yakin kalau gadis itu sedang menangis, apalagi ketika wajah cantik itu menatap ke arah mereka dengan penuh kekhawatiran yang tersirat di sana.

Hanum dan Azzam sudah berada di hadapan Amel, gadis itu langsung memeluk Hanum dan menumpahkan segala rasa cemasnya yang begitu luar biasa.

"Tenang sayang, bunda sudah berada di sini. Bunda bakalan nemenin kamu, jadi kamu harus tenang ya," bisik Hanum dan hanya sebuah anggukan yang diberikan oleh Amel.

Sedangkan Azzam hanya membisu melihat semua ini, ia tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Semuanya terasa sulit untuk dijelaskan, apalagi saat melihat kerapuhan pada diri Amel. Ia sangat ingin memberikan semangat, tetapi hubungan mereka bisa dikatakan tidak baik-baik saja.

Fano dan Zizi akhirnya sudah berada di sini, sedangkan Amel masih menatap penuh harap dan cemas ke arah ruangan tempat sang papanya diberikan tindakan oleh dokter.

"Amel, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa papa kamu bisa dilarikan ke rumah sakit malam-malam seperti ini?" Tanya Hanum.

Amel  kembali menatap mereka satu persatu, apalagi melihat tampilan mereka yang begitu rapi membuatnya sadar bahwa keluarga ini dari acara penting.

"Bun, maafin aku ya, aku sudah ganggu waktu kalian semuanya. Aku benar-benar nggak tahu harus kasih kabar ke siapa, aku cuma punya kalian," balas Amel yang begitu berusaha menahan sesak di dadanya.

Amel menatap ke arah lain dan menghapus air matanya. Hanum yang menyadari hal itu, ia langsung menggelengkan kepalanya dan memegang bahu gadis itu agar menatap dirinya.

"Amel, bunda nggak suka kamu bicara seperti itu. Kamu sama sekali nggak ada mengganggu kami, kamu itu sudah menjadi tanggung jawab ayah dan bunda juga," ucap Hanum dengan tegas dan Amel hanya tersenyum tipis saja.

•••••

"Kenapa ke sini?" Azzam kaget karena kehadiran ayahnya secara tiba-tiba.

"Lagi butuh merokok aja, yah," alibi Azzam.

Azka menyadari kalau semua itu hanya alasan saja, ia tahu betul sikap putranya itu. "Kamu nggak bisa berbohong ke ayah maupun bunda, kami tahu apa yang kamu rasakan. Padahal baru selesai melamar anak gadis orang lain, malah masih murung seperti ini. Padahal itu yang kamu inginkan bukan?"

Azzam menatap Azka sekilas dan setelah itu ia mematikan rokoknya itu. Ia akan merokok kalau dalam keadaan cemas atau khawatir seperti malam ini.

"Cerita sama ayah, apa yang sebenarnya kamu pikirkan saat ini? Mungkin ayah bisa membantu kamu," jelas Azka mengusap bahu Azzam.

Kembali Azzam menghela napasnya cukup kasar dan ia menatap langit malam ini. "Aku sendiri bingung yah, apa yang terjadi sama diri aku sendiri. Di lain sisi aku bahagia dengan malam ini, kalau aku semakin mendekati target untuk menikah, tapi saat melihat Amel seperti sekarang ini,  ada hal yang mengganjal dalam diri aku, yah."

Azka tersenyum tipis mendengar hal itu, ternyata apa yang ia lihat sedari tadi tidak salah sama sekali. "Azzam, ayah sama bunda nggak  bisa  memaksa kehendak kami, karena kamu yang akan menjalaninya. Hanya satu hal yang perlu kamu ingat, yakin dengan apa yang ada di hati kamu, nak. Sebab semuanya berawal dari hati kita dan kita serahkan semuanya kepada Allah, karena apa yang berasal dari hati Allah lah yang menggerakkan semuanya."

Azzam mengangguk mendengar semua itu, tetapi ia hanya bisa memilih bungkam perihal hati jika saat ini dibicarakan. "Percaya lah, kamu akan bahagia jika yang kamu ikuti apa yang sebenarnya ada di dalam hati kamu."

Setelah mengatakan itu, Azka beranjak pergi dan meninggalkan Azzam dengan keheningan sudut ruangan bebas merokok itu. Pikiran lelaki itu kembali tertuju pada wajah Amel beberapa waktu yang lalu. "Kenapa selalu dia yang mengisi pikiran aku saat ini?" Gumam  Azzam  mengusap wajahnya dengan kasar.

•••••

"Maafin kami Mel, bunda sama ayah nggak bermaksud untuk menutupi semua ini. Kami nggak mau kamu tertekan dengan keadaan ini," jelas Hanum.

Setelah pemeriksaan semalam, dokter belum memberikan informasi terkait penyakit yang di alami oleh papanya, akhirnya pukul sembilan pagi ini Amel baru bisa bertemu sang dokter untuk meminta kejelasan mengenai penyakit sang papa.

Akhirnya ia mengetahui semuanya, bahkan dari penjelasan sang dokter bahwa penyakit ini sudah sampai stadium akhir. Bahkan hanya dia yang belum mengetahuinya selama ini dan ia sangat kecewa.

"Kenapa harus memikirkan keadaan aku, bun? Apa setelah mengetahui keadaan papa separah ini aku bakalan baik-baik aja, gitu maksud kalian? Atau setelah papa udah nggak ada, aku bakalan baik-baik aja? Sebenarnya kalian anggap aku apa, bun? Aku bukan anak kecil lagi yang harus dipikirin perasaannya mengenai hal sebesar ini," ungkap Amel dengan penuh amarah.

"Amel, kamu tahu sendiri gimana selama ini papa kamu selalu menjaga perasaan kamu. Dia nggak mau kamu berada di situasi yang sulit karena keadaan ini," jelas Hanum.

"Kalau seperti ini, sama saja papa merusak perasaan aku, bun. Papa selalu berusaha kuat di depan aku, dia ngelakuin semua cara biar aku nggak sendirian, bahkan papa menjodohkan aku dengan Mas Azzam karena hal ini juga. Kenapa aku merasa orang yang paling bodoh di antara kalian selama ini? Aku kecewa bun!"

"Sayang, bunda mohon kamu jangan seperti ini dulu. Kamu  harus bisa nunjukin ke papa kamu, kalau kamu kuat menghadapi semua ini," bujuk Hanum.

Amel menggelengkan kepalanya. "Kalau papa pengen aku baik-baik saja selama ini, kenapa semua ini harus ditutupi? Aku semakin merasa hancur dan terluka bun, aku cuma punya papa!"

"Nggak gitu Mel, kamu masih punya kami semua ini," ungkap Hanum dengan tegas.

Amel tersenyum miris mendengar hal itu. "Bukan berarti selamanya aku bisa seperti biasanya dengan keluarga bunda. Masih banyak hal yang akan bunda prioritaskan dibandingkan aku, apalagi Mas Azzam akan segera menikah dan bakalan punya anak. Aku nggak akan sebegitu penting untuk kalian ke depannya, aku cuma anak dari kenalan bunda dan nggak akan pernah lebih."

Ucapan Amel begitu sakit, baik untuk  dirinya sendiri maupun untuk Hanum. "Amel, apa pernah selama ini bunda bersikap seperti apa yang kamu katakan itu? Posisi kamu akan tetap sama di hidup bunda!"

"Aku nggak bisa percaya dengan siapapun lagi, bahkan papa aku sendiri dengan tega mengecewakan aku seperti ini," setelah mengatakan itu Amel berlenggang pergi dengan perasaan yang begitu hancur.

•••••

Hai-hai readers setia akuuuu, terima kasih ya selalu menunggu cerita COMH. Sampai jumpa di hari Jumat 🧡

Jangan lupa komentar banyak-banyak biar aku semangat nulisnya ❤️❤️❤️

Jangan lupa tekan tanda bintang juga, gak bayar kok 🌟🌟🌟🌟

Wassalam...

Complement of My Heart ✓(Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang