Ini tentang kamu, yang berhasil menguasai isi kepalaku.
***
SETELAH sampai di rumah, aku cepat-cepat berjalan menuju kamarku. Aku berniat untuk mandi agar setidaknya diriku bisa lebih tenang jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Setelah mandi, aku duduk di tepi kasurku sembari menatap langit-langit kamar. Ternyata, perasaan bersalahku pada Kak Dimas belum juga reda.
Harusnya aku tidak perlu marah seperti itu kepadanya. Karena apa yang ia katakan juga tidak salah. Tidak semua hal buruk dan kekhawatiran yang ada di dalam kepalaku akan menjadi kenyataan. Benar juga yang ia katakan bahwa bukan berarti jika ada satu orang yang tidak menyukaiku, maka semua orang juga akan melakukan hal yang sama kepadaku.
Aku segera mengambil ponselku dan mengetikkan sesuatu.
Anindya Ramadhita: Kak Dimas, aku minta maaf ya.
Aku memejamkan mataku dan mencoba meyakinkan diriku berkali-kali untuk mengirim pesan itu. Hingga akhirnya, pesan tersebut kukirim ke nomor whatsApp milik Kak Dimas.
Anindya Ramadhita: Aku sadar aku salah, enggak seharusnya aku marah kayak tadi ke Kak Dimas.
Aku mengakui kesalahanku. Mama pernah berkata kepadaku bahwa kita harus bersikap dewasa dengan mengakui kesalahan yang telah kita perbuat. Tanpa memandang gender apakah itu laki-laki ataupun perempuan. Kita harus mengakuinya dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Aku tahu, apa yang kulakukan pada Kak Dimas itu benar-benar salah.
Setelah sepuluh menit, Kak Dimas belum juga membaca pesanku. Aku akhirnya mengalihkan perhatianku pada sebuah novel di atas meja kamarku yang belum selesai kubaca. Beberapa saat kemudian, aku kembali mengecek ponselku.
Ternyata, Kak Dimas hanya membaca pesanku, tanpa membalasnya. Ya ampun, apakah Kak Dimas marah karena perlakuanku kepadanya? Sungguh, sebenarnya aku tidak berniat apa-apa. Apa mungkin apa yang telah aku lakukan justru melukai hatinya?
Pintu kamarku terdengar terketuk. Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut. “Nin, disuruh makan sama mama!”
Suara Bang Geri terdengar dari luar sana. Setelahnya, lelaki itu memasuki kamarku. Ia melempar tatapan penuh tanda tanya ke arahku. “Kenapa, sih, lo? Galau amat muka lo.”
Aku menatap Bang Geri, tetapi sebelumnya aku menghela napas terlebih dahulu. “Bang, lo pernah nggak marah sama cewek, temen, atau gebetan lo gitu?” tanyaku.
Bukannya menjawab, Bang Geri justru menertawaiku, membuatku menatapnya malas. “Bang, ih, kok, malah ketawa, sih?” dumelku.
“Lo masih kecil! Tahu apa, sih, tentang cinta-cintaan? Udah sana makan! Udah dipanggil mama daritadi,” katanya lalu beranjak pergi meninggalkanku. Aku menggerutu sendiri. Mengapa, sih, Bang Geri selalu menganggapku sebagai anak kecil?
***
Keesokan harinya, aku tetap bersekolah seperti biasanya. Tentang Kak Dimas yang hanya membaca pesanku masih menjadi pertanyaan yang bersarang di dalam kepalaku. Meskipun aku belum lama kenal dengan Kak Dimas, tetapi menurutku Kak Dimas adalah orang yang cukup sabar yang pernah kukenal.
Suara heboh terdengar dari Fiona yang duduk di sebelahku. “Anin, gue berhasil dapetin diskon dan gratis ongkir! Lumayan, gue bisa beliin jam tangan buat kado ulang tahun Dafa,” kata Fiona. Dafa adalah kekasih Fiona semenjak kelas tiga SMP. Akan tetapi, Dafa kini tidak bersekolah di sekolah yang sama dengan aku dan Fiona.
Aku mengubah posisi duduk dan menatap Fiona. “Fi, Dafa pernah nggak, sih, marah sama lo?” tanyaku.
Viona terkekeh sembari menganggukan kepalanya. “Yang namanya orang pacaran pasti ada aja berantemnya, Nin. Kenapa lo nanya-nanya? Kepo ya? Makanya, Nin, jangan kelamaan jomlo!” sahut Fiona menanggapi pertanyaanku.
“Biasanya, Dafa kalo marah gimana?” tanyaku lagi.
“Cowok, tuh, kalo marah beda-beda, Nin. Ada yang meledak-ledak, ada yang diem, ada juga yang cuma sarkas atau sinis. Dafa biasanya, sih, cuma sarkas gitu.”
Aku mengangguk. “Biasanya, kalau misalnya cuma diem aja kenapa, Fi?” tanyaku.
“Biasanya, tipe kayak gitu, sih, tipe-tipe cowok yang tenang, Nin. Dia nggak mau emosinya meledak-ledak di depan lo. Dia mau nyoba nenangin dirinya sendiri dan nunggu emosinya reda dulu,” jawab Fiona yang membuatku menganggukan kepalaku.
Suara bel istirahat membuat siswa-siswi di SMA Harapan ke luar dari kelasnya masing-masing. Begitu juga dengan aku dan Fiona. Ketika bel berbunyi, Fiona mengajak ke kantin untuk membeli makanan. Aku pun mengiakan permintaan Fiona dan mengikuti langkahnya.
Ketika berjalan menuju ke kantin, aku dan Fiona berpapasan dengan Kak Dimas. Mata kami sempat bertaut untuk beberapa saat, tetapi setelah itu Kak Dimas hanya berjalan melewatiku, tanpa menyapa atau tersenyum.
Perasaanku semakin tidak karuan. Perasaan bersalah itu semakin menjadi-jadi di dalam perasaanku.
Apakah Kak Dimas sungguh marah kepadaku? Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus meminta maaf secara langsung kepadanya?
TBC
Author Note:
Kenapa Dimas cuma ngebaca pesan Anin ya? Apa Dimas beneran marah? Kalau misalnya kalian ada di posisi Anin, apa yang bakal kalian lakuin? Thanks for reading ❤️
Alya Ranti
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Teen Fiction"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...