10. Sweet Talk

1.5K 335 108
                                    

“Kita nggak harus selalu ngikutin standard sosial, kan?”

***

TIDAK lama kemudian, Kak Dimas terlihat kembali menatapku dan berkata, “Nin, besok gue ada casting di salah satu rumah produksi film,” katanya. Mataku refleks membola ke arahnya, ikut senang akan apa yang akan Kak Dimas lakukan.

“Oh ya? Aku doain, semoga besok semuanya lancar dan Kak Dimas bisa dapetin peran yang Kakak mau,” sahutku. Dia tersenyum hangat ke arahku. “Makasih, ya, Nin.”

“Nggak usah bilang makasih, Kak. Aku, kan, nggak berbuat apa-apa buat Kakak. Harusnya, aku yang bilang banyak makasih ke Kak Dimas.” Aku menepis perkataannya. Memangnya apa yang aku lakukan untuk Kak Dimas? Aku tidak melakukan apa-apa yang bisa membahagiakannya. Maksudku, selama ini justru yang aku lakukan adalah hal-hal yang seharusnya membuatnya kesal.

Tapi, aku tidak tahu dan tidak mengerti dengannya. Dia seperti punya kantong ajaib yang berisi stok kesabaran yang seakan tidak pernah habis.

“Ya, gue mau bilang makasih kalo pulang sekolah besok lo mau nemenin gue,” ujarnya, yang sejujurnya mampu membuatku terkejut.

Kenapa harus aku? Maksudnya, dia percaya mengajakku untuk menemaninya ke acara yang cukup penting di dalam hidupnya itu? Acara yang akan menjadi salah satu penentu tercapainya impian di dalam hidupnya. Tapi, kenapa aku? Aduh, aku nggak ngerti kenapa aku jadi terkesan terlalu percaya diri.

“Nemenin Kakak?” tanyaku memastikan. Dia menganggukan kepalanya, yang aku artikan sebagai jawaban iya atas pertanyaanku.

“Tapi, kenapa harus aku?”

“Lo nggak mau ya? Ya, nggak papa, sih. Gue juga nggak maksa, kok. Santai aja.”

Aku menggelengkan kepalaku. “Bukan, maksud aku bukan begitu. Aku mau aja nemenin Kakak besok, tapi kenapa harus aku? Bukannya malah ribet kalo ngajak aku?” kataku yang mencoba meluruskan agar Kak Dimas tidak salah paham atas apa yang aku katakan.

Dia justru tertawa sambil menatapku dengan binar matanya yang terasa begitu hangat. “Nggak papa, nyaman aja.”

Apakah aku tidak salah dengar? Apa yang baru saja Kak Dimas katakan dan apa maksudnya?

“Maksud Kakak?” tanyaku.

Dia justru menggelengkan kepalanya, dengan senyum yang masih terurai di wajahnya. Senyum ramah yang bisa membuat siapa pun merasa bahagia ketika melihatnya. “Nggak, lupain aja. Lo pulang sama siapa?”

“Sama Fiona dan pacarnya. Mungkin, nanti aku balik lagi ke sana,” jawabku.

“Bareng gue aja.”

Aku sontak menggeleng. “Nggak usah, Kak. Rumah kita, kan, jauh. Lagian, aku juga udah biasa, kok, bareng Fiona sama Daffa.”

“Nggak papa. Boleh minjem HP?” tanyanya. Aku mengerutkan dahiku. Ponselku? Untuk apa?

“Buat apa?”

“Mau izin nganterin lo pulang ke nyokap lo,” jawabnya, yang jujur saja membuatku semakin kagum pada Kak Dimas. Aku hanya mengangguk, lalu memberikan ponselku kepada Kak Dimas. Tapi, sebelumnya aku mencari kontak mama terlebih dahulu.

Benar saja, Kak Dimas menelpon mama dan izin ke mama untuk mengantarku pulang. Sepertinya, mama juga mengizinkan. Aku jadi merasa lebih aman karena Kak Dimas terlihat benar-benar seperti laki-laki yang sangat baik. Aku jadi tidak perlu takut jika Kak Dimas akan macam-macam kepadaku.

Laki-laki mana yang mengantar pulang di malam hari saja perlu izin? Seumur hidupku, aku baru melihat Kak Dimas yang melakukannya. Bahkan, Bang Geri rasanya seenaknya saja mengantar jemput pacarnya.

Ya, Kak Dimas memang bukan pacarku, sih. Beda hubungannya kalau dibandingkan sama Bang Geri dan pacarnya. Tapi, maksudku di sini kesopanan dan etika Kak Dimas yang benar-benar membuatku semakin kagum.

Setelahnya, Kak Dimas mengembalikan ponselku, lalu dia membayar dua mangkok bubur dan dua gelas es teh manis yang kami makan. Sehabis itu, kami berjalan kembali menuju SMA Cakrawala untuk mengambil mobil milik Kak Dimas.

Dan sekarang, aku sudah duduk di dalam mobil Kak Dimas. Mobilnya melaju di jalanan malam Jakarta. Untungnya, sekarang jalanan cukup lengang, sehingga kami tidak perlu berkutat dengan kemacetan yang memusingkan.

Alunan lagu mulai terdengar di mobil Kak Dimas. Lagu-lagu yang waktu itu Kak Dimas kirimkan kepadaku. Untuk beberapa saat kami terdiam, sebelum akhirnya Kak Dimas berbicara dan memecahkan keheningan di antara kami.

“Nin, kenapa, sih, lo selalu manggil gue Kakak? Kenapa nggak bisa panggil Dimas aja?” tanyanya.

“Ya, karena Kak Dimas itu kakak kelasku, seniorku di ekskul juga. Jadi, nggak salah, kan, kalau aku panggil Kak Dimas pakai sebutan Kakak?” Aku justru bertanya balik.

Dia menganggukan kepalanya, seolah menyetujui apa yang baru saja aku katakan. “Ya, iya bener, sih, Nin. Cuma, nggak papa kali kalo misalnya lo manggil gue Dimas doang. Pakai sebutan lo-gue juga nggak masalah,” timpal Kak Dimas.

“Buktinya lo biasa manggil Fiona dan pacarnya pakai sebutan lo-gue, santai aja sama gue.” Kak Dimas melanjutkan ucapannya. Aku menggelengkan kepalaku. “Enggak, ah, tetep aja nggak enak. Berasanya nggak sopan tahu!”

“Iya, tapi gue jadi merasa tua, Anin. Bukan berarti biasanya orang yang lebih tua dipanggil kakak, lo juga harus manggil gue kakak, kan? Kita nggak seharus ngikutin standard sosial, kan, Nin?”

“Tapi, emang Kak Dimas lebih tua daripada aku, kan?” Aku membalikkan ucapannya. Di sebelahku, Kak Dimas terlihat menganggukan kepalanya.

“Iya, sih, tapi kita cuma beda satu tahun, Nin. Umur kita nggak beda jauh-jauh banget.”

Tapi, tetep aja aku jadi ngerasa nggak sopan kalau cuma manggil dia pakai sebutan nama aja. Ya, mungkin karena pembawaan Kak Dimas yang baik, makanya aku jadi segan buat ngomong pakai sebutan lo-gue. Mungkin, kalau Kak Dimas ngeselin kayak Bang Geri, aku bakalan berantem terus sama dia dan pakai sebutan itu ke dia.

“Tetep aja, Kak Dimas itu udah lahir duluan, udah bisa napas duluan, udah bisa jalan duluan. Udah bisa melihat dunia lebih dulu!” kataku.

“Ya, cuma nggak enak aja, Nin. Masa lo ngomong pakai aku-kamu, terus gue ngomong pakai lo-gue. Kayak, kurang nyambung aja,” ujarnya. Iya juga, sih, tapi menurutku itu sama sekali nggak masalah.

Dia terlihat sejenak berpikir, lalu mengalihkan pandangannya dari jalanan ibu kota ke arahku. “Kalau gitu, gue aja yang ngikutin lo.”

“Maksud Kakak?”

“Ya, mulai sekarang aku bakalan nyebut diriku pakai panggilan aku,” jawabnya, yang diikuti dengan suara tawanya yang terdengar begitu renyah. Membuatku ikut tertawa karena perkataannya.

Tapi, entah kenapa pipiku memerah setelahnya. Kenapa juga Kak Dimas sekarang mau bicara pakai aku-kamu? Padahal, kita bukan sepasang kekasih yang harus menggunakan panggilan itu. Ya, aku tahu panggilan itu bukan cuma untuk orang pacaran aja. Tapi, pokoknya susah buat jelasin perasaanku sekarang.

Setelahnya, Kak Dimas kembali fokus mengendarai mobilnya. Lalu beberapa saat setelahnya, dia menoleh ke arahku.

“Nin, kalau mau ke rumah kamu belok ke kanan, kan, ya? Aku agak lupa, deh.”

Aku menganggukan kepalaku. Tapi, sejujurnya aku bingung apa yang aku rasakan saat ini. Satu sisi, aku merasa lucu dan ingin tertawa atas perkataan yang diucapkan oleh Kak Dimas.

Tapi, di satu sisi ada perasaan yang sangat sulit untuk kudefinisikan dengan kata-kata.

Aku bingung, apa perasaan ini wajar untuk kurasakan?

TBC

Author Note:
Duh, siapa coba yang nggak luluh sama cowok kayak Dimas? Dimas itu menurutku manis banget, manly banget juga lagi. Kalau menurut kamu, Dimas itu gimana? Thanks for reading ❤

Alya Ranti

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang