“Enggak ada mimpi yang terlalu tinggi kok, yang penting lo yakin sama mimpi lo. Kalo lo aja nggak yakin, gimana mimpi lo bisa terwujud?”
***
DUA hari sudah berlalu dan kini aku sedang berada di kantin bersama Fiona, meminum segelas es teh manis seraya menunggu bakso pesananku yang belum juga datang. Aku menatap Fiona yang mulutnya sedang dipenuhi oleh donat coklat. Setelah pertemuanku dengan Kak Dimas hari itu, aku belum cerita apa pun tentang hal ini kepada Fiona.
Fiona pasti akan tertawa dan terus meledekku jika aku menceritakan tentang hal ini kepadanya. Ia pasti akan bangga karena sumpahnya kepadaku hari itu terkabul, tapi mulutku rasanya gatal untuk menceritakan hal ini kepadanya, sehingga hari ini aku memutuskan untuk bercerita.
“Fi, sebenernya ada yang mau gue ceritain sama lo, tapi janji ya jangan ketawain gue!” ujarku memulai pembicaraan, Fiona hanya mengangguk tanpa menjawab satu patah kata pun. Dia masih sibuk menikmati donat coklat kesukaannya itu.
“Fi, gue mau cerita.” Aku mengulangi perkataanku lagi karena merasa Fiona tidak merespons ucapanku dengan baik, sehingga Fiona meminum air mineral miliknya lalu menatapku.
“Iya, cerita aja sih,” sahutnya.
“Lo tau nggak, Fi? Lo inget, kan, dua hari yang lalu lo pernah nyumpahin gue kalo gue bakal kenalan sama Kak Dimas? Yang waktu demo ekskul itu?” tanyaku kepada Fiona. Fiona menganggukan kepalanya seraya masih menatapku.
“Iya inget lah, Anin. Lo kira gue udah tua gitu terus segampang itu gue pikun?” jawab Fiona.
“Masalahnya, dua hari yang lalu gue beneran kenalan sama Kak Dimas.” Akhirnya aku bercerita kepada Fiona, membuatnya membulatkan matanya ke arahku. Tidak lama kemudian, ia justru tertawa dengan begitu puas. Kayaknya, kalau dilihat dari tanggapannya, Fiona merasa sangat senang karena sumpahnya terkabul dengan begitu cepat.
Namun, beberapa saat kemudian, raut wajah senangnya terlihat berubah menjadi bingung. “Tapi gimana bisa, Nin?”
“Ceritanya itu panjang, Fi.”
“Nin, lo tahu, ‘kan? Gue selalu siap untuk menjadi pendengar yang baik buat lo sepanjang apa pun cerita lo?” tanya Fiona secara dramatis. Aku sudah tahu bahwa tandanya Fiona memintaku untuk menceritakan apa yang terjadi sehingga aku bisa berkenalan dengan Kak Dimas.
Akhirnya, aku menceritakan semuanya yang terjadi di hari itu pada Fiona.
“Makanya, lo jangan macem-macem sama gue, sumpah gue manjur,” kata Fiona yang membuatku hanya mengangguk tengil ketika mendengarnya. Fiona menatap jam tangan miliknya, setelahnya ia menatapku.
“Nin, kayaknya gue enggak bisa nemenin lo lama-lama deh. Gue harus ngumpulin formulir pendaftaran organisasi.”
Aku menganggukan kepalaku. “Iya, habis makan gue juga harus ngumpulin formulir sih. Emangnya, lo mau ikut organisasi apa?”
“Sanggar seni lah, apa lagi, Nin? Itu udah jadi separuh hidup gue yang nggak bisa lepas dari diri gue, Anin!” kata Fiona yang terlalu mendramatisir, membuatku menatapnya dengan aneh.
“Fi, ih, apaan sih lo? Lebay tau nggak?”
Fiona terkekeh mendengar perkataanku. “Biarin aja, orang emang gue lebay kok. Terus kalo gue lebay kenapa? Nin, di dunia ini kita nggak bisa nyenengin semua orang. Jadi, yang harus kita lakuin adalah jadi diri kita sendiri.”
“Eh iya, lo ikut apa, Nin?” tanya Fiona padaku. Aku tersenyum mendengar pertanyaan Fiona.
“Harapan Musical,” jawabku yang justru membuat Fiona tertawa. Aku kadang bingung dengan tingkah Fiona. Dia itu adalah temanku yang paling aneh dan menyebalkan, tapi walaupun Fiona seperti itu, sebenarnya ia adalah sosok yang baik dan cukup dewasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Ficção Adolescente"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...