"Sebenernya, setiap manusia punya rahasia yang nggak diketahui sama banyak orang. Kita harus pinter buat milih siapa orang yang pantes tahu tentang cerita hidup kita. Karena kebanyakan orang cuma penasaran, bukan bener-bener peduli."
***"Yang itu namanya Tiara, Nin. Adiknya Dimas," kata Tante Dita, seolah mengerti apa yang sedang bersarang di dalam kepalaku.
"Sekarang Tiara di mana, Tante? Tiara cantik, ya, kayak Tante," pujiku.
Tak lama kemudian, Kak Dimas yang semula memakai seragam putih abu-abu, kini sudah berganti baju. Dia kini mengenakan celana panjang berwarna hitam dan juga hoodie putih. "Nin, mau pulang sekarang?" tanyanya.
Aku menatap jam tangan yang melekat di tanganku. Sekarang memang baru jam tujuh malam, tetapi aku juga tidak mau pulang terlalu malam, sehingga aku mengangguk menyetujui. Tante Dita tersenyum ke arahku. "Hati-hati, ya, kalian di jalan. Oh iya, kapan-kapan ke sini lagi, ya, Nin? Titip salam buat mama kamu. Nanti Dimas aja yang cerita," ujarnya dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang.
Aku mengangguk, lalu berdiri dan mencium punggung tangan Tante Dita. "Anin pulang, ya, Tante."
Tante Dita tersenyum. Aku dan Kak Dimas lalu berjalan dan masuk ke dalam mobil Kak Dimas. Kak Dimas hendak menyalakan mobilnya, tetapi kulihat ada yang berbeda dari raut wajahnya. Ya, Kak Dimas terlihat sedih.
Tak lama kemudian, mobil Kak Dimas melaju meninggalkan rumahnya. Aku masih menatap Kak Dimas heran. "Kak Dimas kenapa?" tanyaku bingung.
Kak Dimas menoleh ke arahku. "Enggak, kok. Gue nggak papa," jawabnya.
Aku menghela napas sejenak. Aku menatapnya dengan begitu lekat. "Kak Dimas aneh, deh! Selama ini, tuh, Kak Dimas yang bilang ke aku untuk ngakuin apa yang aku rasain. Kak Dimas sendiri yang bilang nggak papa buat ngerasa nggak baik-baik aja. Tapi, sekarang Kak Dimas bohong."
Dia justru terkekeh kecil setelah mendengar aku berbicara. "Nggak pa-pa. Tapi, tadi gue dikabarin tentang hasil casting minggu lalu," katanya.
"Gimana hasilnya, Kak?" tanyaku.
Dia mengangkat bahunya, lalu mengembuskan napas perlahan. "Nggak lolos, gue nggak dapet peran di sana. Sebenernya, tadinya gue dapet satu peran di film itu. Tapi, ternyata penulisnya nggak setuju. Ya, mungkin emang belum jalannya aja kali, ya, Nin? Lagian, gue percaya banget kalau penulis pasti yang paling tahu tentang siapa yang cocok jadi pemeran di dalam film adaptasinya," jawabku.
Aku hanya tersenyum ke arahnya. "Iya, Kak Dimas pasti akan nemu jalan lain."
Kak Dimas membalas senyumanku. Tuhan, mengapa ada manusia yang memiliki senyuman semanis dan semenenangkan Kak Dimas? Ya ampun, kenapa aku jadi berlebihan seperti ini? Tapi serius, mengobrol dengan Kak Dimas sejujurnya bisa membuatku tenang dan lebih positif, tapi entah mengapa aku tidak bisa menahan perasaan aneh yang ada di dalam dadaku.
"Kalo suatu saat lo jadi penulis, lo bakalan milih gue jadi aktor lo nggak?" tanyanya.
Aku tertawa. "Emangnya Kak Dimas yakin aku beneran bisa jadi penulis?" Aku justru berbalik bertanya kepadanya.
Kak Dimas berdecak kesal. "Ya, yakinlah! Lo juga harus yakin sama diri lo sendiri, Anindya Ramadhita! Lama-lama gue jitak beneran lo, ya, Nin?"
"Jitak aja! Nanti aku bilangin Fiona," balasku.
Dia tertawa. "Kenapa jadi bilangin ke Fiona? Gue yakin juga Fiona nggak akan marah."
"Kak Dimas, kalo Kak Dimas nggak lagi sedih, sekarang Kak Dimas yang aku jitak! Kenapa Kakak jadi nyebelin, sih? Kalo aku nanti jadi penulis, aku bakalan kasih Kak Dimas peran antagonis biar dibully sama netizen," ujarku, tetapi Kak Dimas justru tertawa mendengar jawabanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/237899411-288-k30269.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Ficção Adolescente"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...