47. Tentang Dhirga

701 245 134
                                    

Aku mencintaimu, dari dulu sampai sekarang. Dan, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti mencintaimu.

***

Setelah ditentukannya Dimas sebagai Dhirga di film Kita dan Segala Cerita di Dalamnya, pencarian pemain dilakukan selama dua minggu. Hingga akhirnya, ditemukan pemain-pemain yang cocok untuk bergabung di dalam film ini.

Oh, ya, yang menjadi Anna namanya Shafira, salah satu aktris yang juga sering kulihat wajahnya di layar lebar. Aku percaya bahwa Shafira bisa memerankan tokoh Anna dengan baik. Bahkan, aku melihat ada beberapa sisi dalam diriku yang ada pada Shafira. Bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berpikir, dan bagaimana dia bertingkah laku.

Dia memang lebih muda beberapa tahun dibanding aku, tetapi jam terbang Shafira pada dunia seni peran juga semakin meyakinkanku bahwa dia pasti bisa memerankan Anna.

Kini, aku sedang berada di kantor rumah produksi. Kami sedang menjalankan reading hari pertama.

"Kak Anin, Anna, tuh, karakternya bener-bener melankolis, ya? Lumayan gampang nangis dan tipe orang yang pemikir banget?" tanya Shafira.

Aku mengangguk. "Iya, Shaf."

"Anna, kan, nggak terlalu sering temenan sama cowok, ya. Tapi, Anna, tuh, tipe yang galak, jutek, atau nggak?" tanyanya lagi.

"Nggak, sih. Dibilang galak atau jutek juga nggak. Cuma agak tertutup aja."

"Oooh, iya, iya," jawab Shafira.

Lucu sekali. Aku seperti menjelaskan bagaimana diriku sendiri kepada orang lain.

Beberapa jam berlalu, kini waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hari ini, sepertinya semua yang dibahas sudah dirasa cukup. Hingga akhirnya, agenda hari ini ditutup.

Aku pun beranjak berdiri, hendak memesan taksi online untuk pulang karena mobilku sedang dipinjam Bang Geri untuk ke luar kota demi mengurus pekerjaannya.

Namun, aku menoleh ketika seseorang memanggilku. "Anin!"

Aku menoleh. "Eh, Dimas. Kenapa?" tanyaku bingung, sembari menatap matanya.

"Lo malem ini lagi sibuk banget nggak?" Dimas justru kembali bertanya.

Aku terbingung, menatap Dimas beberapa saat, lalu aku menggelengkan kepalaku. "Enggak, sih. Kenapa?"

"Hm, gue mau ngobrolin lebih jauh tentang karakter Dhirga boleh nggak? Soalnya, kayaknya banyak hal yang harus gue tahu tentang Dhirga dari sisi penulisnya, sih. Biar gue lebih tepat meraninnya. Boleh?"

Tanpa berakting pun, kamu sudah menjadi visualisasi dari Dhirga yang terbaik, Dimas. Ah, bagaimana aku harus mengatakan tentang ini kepadamu?

"Nin? Boleh nggak, ya? Kalau nggak boleh, nggak papa, sih. Mungkin bisa lain kali."

Aku tersadar dari lamunanku. "Hah? Boleh, kok. Boleh banget, dong," balasku. "Mau tanya tentang apa?"

Dia tampak berpikir. "Banyak, sih, sebenernya. Tapi, kayaknya kita ngobrolnya nggak di sini, deh. Bisa ngobrol di luar aja nggak? Di tempat yang lebih nyaman."

Aku mengangguk. "Oke."

"Makasih, ya, sebelumnya," katanya. Aku membalasnya dengan anggukan kepala.

Aku dan Dimas lalu menaikki mobil Dimas, lalu mobil Dimas keluar dari kantor rumah produksi, menuju ke tempat yang aku tidak tahu akan ke mana Dimas membawaku.

"Kita mau ke mana, ya?"

"Makan malam, mungkin? Lo belum makan, kan?" tanya Dimas.

Iya juga, sih. Aku juga merasa lapar sekarang, sehingga aku setuju-setuju saja dengan ajakkan Dimas.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang