SETELAH itu, yang aku lakukan adalah menunggu gitar Kak Dimas diperbaiki. Hingga beberapa saat kemudian, perbaikan gitar itu sudah selesai.
"Udah selesai," ujar Kak Dimas.
Aku meresponnya dengan menganggukkan kepalaku.
Tanpa kuduga, dia justru menyodorkan gitar itu kepadaku, membuat dahiku berkerut karena terbingung. "Kenapa, Kak?" heranku. Bagaimana tidak heran? Kini, Kak Dimas tiba-tiba saja menyodorkan gitar itu kepadaku.
Kalau dilihat dari fisiknya, sepertinya gitar itu sudah cukup tua. Tapi, jika kulihat dari cara Kak Dimas memperlakukan dan memandang gitar itu, sepertinya gitar itu memiliki makna tersendiri untuk Kak Dimas. Gitar itu seperti istimewa untuknya. Aku bukan cenayang. Kak Dimas memang selalu memperlakukan sesuatu yang ada di sekitarnya dengan baik, tetapi entah mengapa aku merasa bahwa gitar itu sangat berharga untuknya.
"Mau coba main gitar?" tanyanya.
"Enggak, aku nggak bisa main gitar," jawabku. Ya, aku memang tidak bisa bermain alat musik sama sekali. Lagian, untuk apa aku belajar alat musik? Supaya aku bisa membuat instrumen sendiri ketika aku membuat cover musik di Instagram? Tidak, bahkan aku tidak percaya diri untuk menampakkan wajahku di Instagram. Hal itu sering kali membuat Fiona marah dan berkata, "Nin, lo itu cantik banget. Beneran cantik, Nin. Bukan karena gue temen lo terus gue bilang lo cantik. Gue aja yang nggak secakep lo percaya diri aja, apa yang harus lo minderin dari kecantikan lo yang paripurna?"
"Ya udah, gue aja yang main gitar," balasnya, lalu duduk di sebelahku. Suara gitar mulai terdengar, lalu tak lama kemudian Kak Dimas bernyanyi. Dia menyanyikan lagu Sempurna dari Andra and The Back Bone.
Aku baru tahu jika Kak Dimas memiliki suara yang cukup bagus, mendengarnya membuatku tenang.
Setelah Kak Dimas selesai bernyanyi, aku tersenyum. "Suara Kak Dimas bagus."
Kak Dimas tertawa. "Bagus buat nakut-nakutin tikus di dapur, ya?" sahutnya. Mengapa dia menganggap perkataanku sebagai lelucon? Padahal, kini aku serius. Aku sedang memuji suaranya yang menurutku bagus untuk didengar. Memangnya perkataanku terdengar seperti orang bercanda?
"Ish! Aku serius Kak Dimas! Suara Kakak, tuh, emang bagus!" ujarku meyakinkannya.
"Nin, kalau misalnya suara gue emang bagus, gue udah gantiin Ando buat jadi vokalis kali. Suara gue standar, Nin," balasnya.
Aku mengangguk saja. "Kak Dimas nggak jadi vokalis aja banyak yang ngomongin, ya. Gimana kalau misalnya Kakak jadi vokalis? Pasti satu sekolah semuanya bakalan jadi fans Kakak, ya?" tanyaku.
"Lo kebanyakan nonton drama, Nin!" ledeknya.
Tuh, kan, apa aku bilang. Kak Dimas selalu saja tertawa akan apa yang aku ucapkan. Padahal, memang begitu kenyataannya jika banyak sekali murid di kelasku yang berbicara tentang Kak Dimas. Entah mengatakan bahwa Kak Dimas itu tampan, Kak Dimas itu keren, Kak Dimas itu menarik. Buktinya saja, Fiona sudah terkesima pada Kak Dimas saat pertama kali melihatnya di demo ekstrakurikuler. Padahal, Fiona sudah punya pacar.
"Aku serius, Kak Dimas! Kenapa Kak Dimas ketawa mulu, sih? Di kelasku itu banyak banget yang ngomongin Kak Dimas!"
Dahi Kak Dimas berkerut setelah mendengar pernyataanku. "Ngomongin apa?" herannya.
"Katanya, Kak Dimas itu ganteng, keren, jago banget kalo lagi main drum sama gitar," jawabku.
"Pasti lo biang keroknya, ya, makanya mereka semua ngomongin gue?" tuduh Kak Dimas. Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Sembarangan saja Kak Dimas menuduhku membicarakanku pada orang banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Roman pour Adolescents"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...