22. Ceritaku Bersamanya

999 263 145
                                    

"Aku dan dia nggak pernah punya status. Jadi, aku nggak punya hak untuk cemburu atau ikut campur di dalam hidupnya."

***

Aku terdiam, masih mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Kak Dimas. Sedangkan, dia masih menatapku dengan begitu lekat.

Bola matanya yang kecoklatan menatapku dengan begitu teduh. Padahal, sesungguhnya Kak Dimas tidak perlu meminta maaf, merasa bersalah, atau merasa menyakiti perasaanku. Karena dia bukan pacarku, dia tidak punya tanggung jawab apa pun atas perasaanku.

Lagian, aku dan dia nggak pernah punya status. Jadi, aku nggak punya hak untuk cemburu atau ikut campur di hidupnya. Tapi, kenyataannya aku cemburu. Kenyataannya ada perasaan yang sulit sekali aku jelaskan waktu aku melihat Kak Dimas dengan Kak Jean.

Aku harus jawab apa? Haruskah aku mengakui perasaan cemburuku kepadanya? Apakah itu tidak apa-apa? Bagaimana jika dia tidak memiliki perasaan kepadaku?

Ah, mengapa segala hal yang berkaitan dengan perasaan selalu rumit dan memusingkan, sih?

Seorang pelayan datang menghampiri kami dan memberikan pesanan kami. Dia tersenyum menatap aku dan Kak Dimas. Setelahnya, dia kembali meninggalkan kami berdua.

Aku menghela napas terlebih dahulu, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Kak Dimas. "Kenapa Kak Dimas bisa nanya kayak gitu? Emangnya ada yang bilang sama Kak Dimas tentang ini?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak ada."

"Terus kenapa Kak Dimas bisa mikir gitu?"

Dia justru tersenyum hangat ke arahku. "Ngerasa aja. Kerasa, kok, Nin, kalau lo ngejauhin gue."

"Waktu gue ngelihat lo lagi nangis di koridor, sebenernya gue mau banget nyamperin lo di sana. Tapi, sayangnya ada masalah sama OSIS yang harus segera gue sama Jean urusin. Terus, yang waktu di ruang musik, gue bersikap kayak gitu karena Jean sakit dan gue rasa dia butuh bantuan gue."

"Maaf kalau itu ternyata bikin lo nggak nyaman, bikin lo sedih, bikin lo sakit hati. Jangan ngejauh dari gue, ya, Nin?" pinta Kak Dimas.

Aku terdiam. Hatiku sekarang seperti es krim yang tidak dimakan selama beberapa jam, sehingga meleleh dan mencair begitu saja. Kak Dimas manis dan menenangkan sekali. Ternyata, selama ini dia menyadari dan mengetahui tentang apa yang kurasakan?

Aku menggelengkan kepalaku. "Aku, tuh, sebenernya bukannya niat mau ngejauh dari Kakak. Tapi, aku takut aku salah paham sama perasaanku sendiri."

Dia terdiam mengamatiku sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa yang sedang Kak Dimas pikirkan. Apakah aku salah bicara, sehingga Kak Dimas hanya diam saja? Apakah aku terkesan menyebalkan? Apakah aku terkesan aneh?

"Omonganku salah, ya, Kak? Maaf, ya," kataku meminta maaf.

"Omongan lo nggak salah, Nin."

Dahiku berkerut karena bingung dengan tingkah Kak Dimas. "Terus, kalau misalnya aku emang nggak salah, kenapa Kak Dimas senyum-senyum sendiri, sih? Diem aja lagi nggak ngomong apa-apa. Aku aneh, ya?"

Kak Dimas tertawa renyah. "Enggak, gue cuma lagi mikir aja."

"Emangnya Kak Dimas mikir apa?"

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang