5. Self Love

1.9K 411 78
                                    

“Gue percaya setiap orang punya timeline kesuksesannya masing-masing. Akan sukses di jalannya dan dengan caranya masing-masing.”

***

SETELAH selesai meminum es kelapa, Kak Dimas terlihat menatapku sambil tersenyum. “Udah selesai?”

Mendengar pertanyaan Kak Dimas, aku menganggukan kepalaku sambil tersenyum. Setelahnya, Kak Dimas mengambil plastik es yang semula ada di genggamanku, lalu beranjak berdiri dan membuang sampah plastik tersebut di tempat sampah terdekat.

Setelah membuang sampah, Kak Dimas menaiki motornya sambil mencoba untuk memakai helmnya yang berwarna coklat tua itu. Ia tampak tersenyum ke arahku. “Yuk, Nin!”

Aku berjalan menghampiri Kak Dimas dan langsung menaiki motornya. Setelahnya, Kak Dimas mengendarai motornya dengan kecepatan normal, kembali melaju di panasnya terik mentari di Ibu Kota. Akan tetapi, panasnya Jakarta tidak membuat Kak Dimas mengeluarkan bau yang tidak sedap dari tubuhnya, wangi parfum maskulin justru dapat kucium dengan jelas.

Selama di jalan, aku mengarahkan jalan menuju ke rumahku pada Kak Dimas. Sejujurnya, aku merasa takut merepotkan Kak Dimas karena sebenarnya rumah kami yang berlawanan arah, tetapi lelaki itu justru memaksaku untuk pulang bersamanya.

Entah, aku tidak merasa takut atau curiga sama sekali. Padahal, biasanya aku begitu curiga dan waspada kepada laki-laki. Apalagi, yang baru kukenali. Mama bilang, zaman sekarang banyak orang jahat yang tidak terduga, bahkan dari orang terdekat sendiri. Namun, bersama Kak Dimas aku tidak merasa curiga. Entah, aku seperti punya prasangka bahwa Kak Dimas memang orang yang baik.

Selama ini, orang-orang yang disekitarku memandangku aneh karena tingkahku ketika perasaan-perasaan itu hadir, tetapi Kak Dimas tidak pernah sama sekali memandangku dengan aneh. Aku merasa bahwa ia sangat menghargaiku. Caranya sebagai laki-laki dalam menghargai perempuan juga membuatku kagum padanya.

Menit demi menit berlalu, kini motor Kak Dimas sudah melaju di jalan kompleks perumahanku. Sesaat setelahnya, sampai lah di rumahku, rumah dengan gaya yang terlihat sangat elegan, tetapi tetap terkesan sederhana dan tidak berlebihan.

Karena keluargaku memang tidak suka hidup berlebihan. Mama selalu mengajarkan kami untuk tetap rendah hati dan tidak jemawa akan apa yang kami miliki.

Aku turun dari motor Kak Dimas sambil tersenyum. “Makasih ya, Kak, udah anterin sampe rumah.”

Kak Dimas justru tertawa ketika mendengar perkataanku. “Santai aja, justru gue yang bilang makasih karena udah ditemenin ke toko buku,” ujar Kak Dimas berterima kasih.

“Jangan lupa dibaca ya, Kak, bukunya. Jangan cuma dibeli doang! Aku yakin, kok, suatu hari Kak Dimas pasti bakalan jadi aktor hebat, meranin film dan filmnya jadi top box offices,” ujarku dengan mengukirkan senyuman di kedua sudut bibirku.

“Siap, makasih loh Mbak Penulis sarannya,” ledeknya yang membuatku menatapnya dengan malas.

“Ih, jangan ngomong kayak gitu!” kataku malas.

“Nin, omongan itu doa, loh. Lagian ya, gue percaya setiap orang punya timeline kesuksesannya masing-masing. Akan sukses di jalannya dan dengan caranya masing-masing. Jangan ragu sama mimpi lo sendiri.”

Aku menganggukan kepalanya. Aku akui jika apa yang dikatakan oleh Kak Dimas tidak ada yang salah. Dan lagi-lagi, ia berhasil membuatku kagum dengan pemikirannya.

“Oh iya, boleh ketemu nyokap lo?” tanya Kak Dimas padaku. Aku mengerutkan dahiku, untuk apa Kak Dimas ingin bertemu dengan mama?

“Kenapa Kak Dimas mau ketemu mama?” Aku justru bertanya balik kepadanya.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang