27. Hampir Tergapai

711 200 55
                                    

"Kadang, yang bikin hidup kita nggak bahagia adalah karena kita selalu fokus sama apa yang nggak kita punya, tapi kita nggak pernah bersyukur sama apa yang udah kita milikin."

***

Setelah menghabiskan makanan, kami memutuskan untuk pulang. Namun, sebelumnya aku memesan dua porsi waffle lagi untuk kubawa pulang. Alasannya karena kusuka sekali dengan waffle tersebut.

Motor Dimas mulai berjalan meninggalkan kafe, melintasi jalanan Jakarta yang seolah tidak pernah mati. Namun, mataku tertuju ke arah seorang anak kecil. Mungkin, usianya sekitar enam atau tujuh tahun. Dia sedang duduk meringkuk di pinggir jalan, tampak memegangi perutnya sembari meringis kesakitan.

Aku menepuk pundak Dimas. "Dimas, boleh berhenti sebentar nggak?" tanyaku.

"Kenapa?"

"Berhenti dulu," pintaku, membuatnya dia menghentikan motornya dan menepi. Aku turun dan menghampiri anak kecil itu.

"Adik kenapa? Perutnya sakit, ya?"

Anak kecil itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak, sakit."

Aku mengelus rambutnya sambil menatapnya. "Sakit kenapa?"

"Aku belum makan dari kemarin. Ibu nggak ada uang buat beli makan," jawabnya, membuatku tersentuh seketika.

"Sekarang Ibu di mana?" Aku bertanya lagi.

"Ibu lagi cari uang sebentar, aku disuruh tunggu di sini."

Aku memberikan plastik yang berisi dua waffle pesananku tadi kepadanya. "Aku ada sedikit makanan. Nanti dimakan, ya, buat kamu dan ibu kamu."

Dimas yang ada di sebelahku, merogoh kantong celanaku dan memberi beberapa lembar uang kepadanya. "Ini juga kakak ada sedikit rezeki, semoga bermanfaat buat kamu, ya."

Dia yang semula duduk, kini berdiri dan memeluk tubuhku. "Makasih, ya, Kak."

Aku membalas pelukannya, lalu setelah dia melepaskan pelukannya, aku tersenyum ke arahnya. "Sama-sama. Aku pulang dulu, ya."

"Hati-hati, Kak."

Aku dan Dimas kembali naik ke atas motor dan melanjutkan perjalanan. Aku terdiam, tak berkata apa-apa.

Dimas yang sepertinya menyadari perubahan sikapku, menatapku dari kaca spion dan bertanya. "Nin, kamu kenapa?"

Aku tersenyum miris. "Aku suka sedih aja kalau ngelihat anak kecil yang kelaperan karena nggak punya uang buat beli makanan. Kadang, aku suka ngerasa benci sama hidupku sendiri. Aku suka nggak bersyukur sama apa yang Tuhan kasih ke aku. Padahal, di luar sana banyak banget orang-orang yang nggak seberuntung aku."

"Waktu Papa meninggal, aku ngerasa kalau hidup ini nggak adil buat aku. Waktu semua orang nyalahin aku atas kepergian Papa, aku ngerasa kalau aku adalah orang paling menderita di dunia, Dim. Aku suka nanya sama Tuhan. Kenapa anak-anak seusiaku bisa hidup bahagia dan main bareng sama papanya? Kenapa anak-anak seusiaku bisa hidup bebas, tanpa beban dan rasa bersalah yang menghantui mereka."

"Aku suka banget ngerasa iri sama kehidupan orang lain. Iri sama orang-orang yang punya papa. Iri sama orang-orang yang bisa hidup tenang. Iri sama orang-orang yang nggak punya trauma di dalam hidupnya."

"Nggak jarang aku benci sama diriku sendiri, sama hidupku sendiri. Padahal, aku masih punya Mama yang selalu paham dan sayang sama aku. Aku masih punya Bang Geri yang peduli, lucu, dan rela ngelakuin apa pun yang dia bisa buat jagain aku."

"Dan, aku punya kamu sekarang. Harusnya, aku bersyukur sama apa yang aku punya."

"Kadang, yang bikin hidup kita nggak bahagia adalah karena kita selalu fokus sama apa yang nggak kita punya, tapi kita nggak pernah bersyukur sama apa yang udah kita milikin."

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang