48. Aku, Kamu, dan Cerita Masa Lalu

832 227 121
                                    

Mau tidak mau, aku harus menjawab pertanyaan Dimas.

"Iya, cerita itu tentang kita. Anna dan Dhirga itu kita. Aku minta maaf, harusnya aku izin dulu sama kamu. Apalagi, cerita kita sampai dijadiin sesuatu yang komersial. Harusnya, ada pembagian tentang royalti juga di antara kita. Aku minta maaf, ya?"

Dimas menggelengkan kepalanya. "Gue sama sekali nggak marah, Nin. Apalagi masalah royalti, masalah komersial, gue nggak peduli sama sekali tentang itu. Lo yang berjuang buat semuanya, lo yang berhak buat itu semua."

"Kenapa akhirnya lo nulis tentang kita, Nin? Kisah yang akhirnya dicintai sama banyak orang." Dimas kembali bertanya, seolah benar-benar penasaran dengan alasanku menuliskan kisahku dengannya.

Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Dimas. "Karena masih ada banyak hal yang mau aku sampein ke kamu. Masih ada banyak hal yang belum selesai, Dimas. Tapi, aku bingung harus gimana bilangnya ke kamu. Karena saat itu, dunia kamu juga lagi nggak baik-baik aja," jelasku.

Mataku berkaca-kaca. "Beberapa saat setelah putus, aku baru baca surat yang kamu kasih ke aku waktu aku ulang tahun. Aku telat, Dimas. Aku baru tahu semua yang kamu rasain saat aku baca surat itu. Walaupun saat itu kamu juga salah, tapi rasanya nggak adil aja kalau aku putusin kamu gitu aja. Apalagi, setelah itu dunia kamu nggak baik-baik aja. Aku pergi, di saat kamu nggak baik-baik aja."

"Aku cuma mau kamu tahu, kalau aku nggak pernah benci sama kamu," jelasku sembari menahan air mataku agar tidak mengalir.

"Bahkan, saat kita putus pun, aku masih sayang sama kamu, Dimas. Aku mau ada di sisi kamu waktu kamu terpuruk, tapi aku tahu kalau itu cuma akan bikin suasananya makin keruh," ungkapku, lalu menyeimbangkan napasku yang tidak teratur.

Dimas menatapku lekat. "Itu bukan salah lo, Anin. Bukan salah lo."

"Aku cuma nyesel aja, kenapa saat itu kita harus berakhir. Aku kehilangan kamu," ujarku, dengan air mata yang akhirnya tak dapat kubendung lagi. Air mataku jatuh membasahi pipiku.

Ya, aku memang pada akhirnya kehilangan Dimas. Kehilangan sosok yang sangat berarti untukku.

"Seenggaknya, dengan aku nulis itu dan pada akhirnya aku bisa baca ulang tulisan tentang aku dan kamu, itu bisa ngobatin rasa kehilangan aku, Dim."

"Aku nggak tahu gimana harus aku bilang sama kamu, Dim. Tapi, pada akhirnya ternyata semesta punya caranya sendiri. Aku nggak nyangka kalau pada akhirnya kamu yang akan meranin Dhirga. Aku juga nggak nyangka kamu pada akhirnya akan baca buku itu."

Jemari Dimas perlahan mengelus punggung tanganku. "Nggak papa, kok. Gue juga salah. Gue udah baca bukunya sampai akhir, Nin. Gue nggak tahu kalau ternyata gue bikin lo sesakit itu, seterluka itu. Maaf, ya."

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya, nggak papa."

"Lo mau ikut gue ke suatu tempat nggak?" tanya Dimas.

Aku menoleh. "Ke mana?" tanyaku bingung.

"Yuk!" Dimas beranjak dari tempatnya dan tersenyum ke arahku, mengisyaratkanku untuk ikut bersamanya.

Aku pun berdiri dan mengikuti langkahnya.

Di dalam mobil, aku dan Dimas tak saling bicara. Hanya alunan lagu-lagu Mocca yang dulu sering kami dengarkan yang kini Dimas putar di mobilnya.

Beberapa waktu setelahnya, kami sampai di suatu tempat. Tempat yang dahulu juga sering kami kunjungi.

Dimas mengajakku ke pantai yang dulu sering kami kunjungi. Kami lalu duduk di kursi geladak pantai, sembari menatap ombak pantai, serta menikmati angin malam yang berhembus.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang