40. We Broke Up

887 238 169
                                    

Sekarang aku tahu, kisah cinta yang berawal semanis dan seindah apa pun, belum tentu akan bertahan selamanya. Benar, patah hati adalah teman paling setia dari jatuh cinta.

***

Aku masih memegang tangan Fiona erat-erat, aku memejamkan mataku kuat-kuat. Suara klakson mobil yang dibunyikan bersamaan serta suara teriakan banyak orang memenuhi telingaku.

Daffa terus mencoba menyeimbangkan mobilnya, hingga akhirnya Fiona mengelus lembut tanganku. "Nin, udah. Nggak papa, kok. Kita selamat, Nin."

Dadaku benar-benar terasa sesak, kepalaku sangat sakit sekarang, kini aku memeluk Fiona dengan sangat erat.

"Maafin gue. Maafin gue. Maaf. Maaf. Maaf," ucapku dengan napas yang memburu.

"Nggak, ini sama sekali bukan salah lo. Kita semua nggak kenapa-napa."

Suara teriakan, klakson, dan kebisingan di luar masih terdengar jelas. Aku menangis sejadi-jadinya. "Diem! Tolong! Gue nggak kuat!"

"Fi, gue nggak kuat," lirihku.

Fiona mengambil airpods miliknya dan memberikannya kepadaku. "Pake ini aja. Dengerin lagu, volumenya lo kencengin sekenceng-kencengnya. Ini juga, minum air putih dulu," ujar Fiona, sembari memberikan airpods dan air mineral kepadaku.

Setelah mendengarkan lagu, aku masih tidak bisa tenang. Bayangan tentang kecelakaan yang kualami bersama papa waktu itu masih membekas dan membuat dadaku benar-benar sesak.

"Fi, gue beneran nggak kuat," isakku dengan air mata yang mengalir membasahi pipiku.

"Gue ada di sini, kok. Lo nggak sendirian," kata Fiona yang mencoba untuk menenangkanku.

"Sakit, gue nggak kuat," lirihku ketika bayangan-bayangan tentang masa lalu yang terus menghantuiku.

Dadaku benar-benar sesak, napasku tidak keruan, kepalaku pusing. Hingga akhirnya, pandanganku kabur, lalu semua yang ada di depan mataku menjadi gelap.

Hingga pada saat aku membuka mataku kembali, aku sudah ada di kamarku. Mama dan Fiona berdiri di dekat tempat tidurku.

"Anin, Mama bikinin teh hangat, ya?" Mama menawarkan.

Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak papa, Ma. Nggak usah. Anin mau istirahat aja."

"Fi, maaf, ya, gue ngerepotin," kataku.

Fiona menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok. Yang penting, sekarang lo udah nggak kenapa-napa. Kalo ada apa-apa, cerita sama gue, ya? Gue sama Daffa balik dulu, ya, Nin."

Aku menatap Daffa yang sekarang berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

"Makasih juga, ya, Fi, Daf."

***

Hari sudah pagi. Aku terbangun dari mimpi burukku. Napasku terengah-engah. Tanganku memgambil segelas air putih yang terletak di atas nakas.

Aku memejamkan mataku sejenak, mencoba menyeimbangkan napasku. Mimpi buruk itu semakin menghantuiku. Ya, bayangan kecelakaan yang kualami dengan papa berapa tahun silam.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang