“Langit enggak selalu mendung, enggak juga selalu cerah. Tuhan udah kasih waktu untuk kita bisa ngerasain banyak hal. Bukan karena kesalahan di masa lalu, kita jadi ngehukum diri kita untuk nggak boleh bahagia.”
***
KAK Dimas seperti punya firasat tersendiri atas apa yang kurasakan. Aku bicara seperti ini bukan karena asal bicara, melainkan contohnya saja pada saat ini. Kak Dimas baru mengajakku ke luar dari kantor rumah produksi ini ketika kondisiku sudah lumayan membaik.
Sungguh, apa yang kurasakan bersama Kak Dimas belum pernah kurasakan sebelumnya. Belum pernah aku merasa begitu tenang ketika seorang lelaki menggenggam tanganku. Jika itu laki-laki lain, mungkin aku akan menamparnya karena mereka berani-beraninya memegang tanganku.
Kini aku berada di atas motor Kak Dimas. Ya, motor yang biasa dia bawa ke sekolah setiap hari. Di mataku, Kak Dimas adalah sosok yang sederhana. Meskipun dia memiliki mobil, tetapi dia lebih memilih untuk naik motor ke sekolah saja.
Entah dia memang sederhana atau dia malas berkutat dengan kemacetan di Jakarta. Ya, seperti sekarang. Sebenarnya, tidak aneh jika Jakarta sore ini cukup macet. Sekarang sudah jam pulang kerja, tentu saja semua orang yang semula berada di tempat kerja mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Jakarta di mataku seperti kota yang tidak kenal lelah. Ya, buktinya dia tidak pernah tidur. Malam hari pun Jakarta masih diramaikan oleh hiruk pikuk masyarakat yang beraktivitas.
Suara klakson yang bersahut-sahutan terdengar memenuhi telingaku. Sebenarnya, suara-suara tersebut cukup membuat kepalaku pusing. Akan tetapi, aku mencoba untuk mengendalikan diriku.
Sudah kubilang, Kak Dimas seperti memiliki firasat tersendiri atas diriku. Dia menatapku dari kaca spion motornya dan berkata. “Nin, lo nggak papa?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak papa.”
Sesungguhnya, aku jadi tak enak hati dengan Kak Dimas. Aku sungguh merepotkannya. Padahal, harusnya hari ini aku yang banyak bertanya pada Kak Dimas tentang dia yang mencoba untuk memerankan tokoh yang diujikan.
“Macet, ya?” tanyanya. Aku menganggukkan kepala. Aku rasa dia bisa menatapku dari kaca spion.
Aku menarik napas. “Kak Dimas, aku minta maaf, ya.”
Respon Kak Dimas yang kali ini tidak pernah kubayangkan. Dia malah meresponku dengan suara tawanya. Sebenarnya aku jengkel karena kini aku sedang benar-benar minta maaf kepadanya, tetapi di satu sisi aku bingung mengapa ia tertawa. “Ih, Kak Dimas, kok, malah ketawa, sih? Emang ada yang aneh, ya, sama ucapanku?” tanyaku.
“Anindya Ramadhita, hobi lo itu emang minta maaf, ya? Enggak usah minta maaf, Nin. Enggak ada yang salah sama lo. Lo nggak harus terus-terusan merasa bersalah,” jawabnya.
Aku terdiam sejenak. Motor Kak Dimas terus melaju. Aku bingung apakah Kak Dimas marah atau kesal karena aku yang terus-menerus meminta maaf.
“Kak Dimas marah?” tanyaku.
“Marah kenapa?” Dia justru bertanya balik.
“Kak Dimas marah karena aku kebanyakan minta maaf?” Aku kembali bertanya. Dia tak menjawab, justru kini membelokkan motornya ke sebuah kafe sederhana yang ada di pinggir jalan.
Kafe tersebut tidak terlalu besar, desainnya cukup sederhana. Namun, kelihatannya seperti menenangkan. Akan tetapi, Kak Dimas yang diam saja membuat aku terbingung. Kini aku turun dari motornya dan melepas helm di kepalaku, begitu juga dengan Kak Dimas. Dia melakukan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Teen Fiction"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...