35. Sebuah Tanda Tanya

646 190 82
                                    

Aku rindu hari-hariku tanpa perasaan menyakitkan ini.

***

Sudah lebih dari dua minggu berlalu. Selama itu pula, proses reading film yang akan Dimas perankan dijalankan. Beberapa hari terakhir ini, filmnya sudah menjalankan proses syuting, sehingga Dimas sering sekali tidak masuk sekolah karena harus syuting.

Selama itu pula, aku merasa hubunganku dan Dimas sangat merenggang. Beberapa kali, aku memang tetap memberikan semangat untuk menggapai semua mimpinya. Namun, lambat laun aku mulai enggan untuk menghubunginya.

Aku hanya takut menganggunya.

Aku takut jika dia tidak nyaman, jika aku terus-terusan menghubunginya.

Selama dua minggu itu, banyak sekali yang sudah kulalui. Aku sudah menulis beberapa BAB untuk ceritaku, yang padahal ingin sekali kuceritakan pada Dimas. Namun, rasanya aku tidak mungkin untuk mengganggu kesibukannya.

Aku baru saja pulang sekolah. Aku duduk di tepi kasurku, lalu tersenyum menatap figura yang berisi fotoku dan papa yang ada di sana. Aku tersenyum hangat menatapnya, lalu memeluknya erat-erat dalam dekapanku.

"Pa, hari ini usia Anin tepat 17 tahun. Makasih, ya, Pa, udah jadi sosok Papa paling hebat buat Anin. Semoga, di tahun ini, Anin jadi sosok yang lebih baik lagi. Anin sayang banget sama papa."

"Papa tahu nggak? Masa, pas jam 12 malam, Mama sama Bang Geri kasih kue ulang tahun ke kamar Anin. Papa juga pasti lihat kita dari sana, kan, Pa? Papa pasti udah tenang di sana, kan?" lirihku.

"Tadi, Fiona sama temen-temen yang lain juga ngasih surprise dan doa baik buat ulang tahun Anin. Mereka baik banget sama Anin, Pa. Apalagi Fiona. Walaupun Anin sama Fiona sering banget adu argumen, tapi Anin tahu kalau Fiona tulus temenan sama Anin."

Aku mencoba meraih ponselku, mengecek notifikasi. Sebenarnya, dari semalam aku berharap bahwa Dimas akan memberikanku setidaknya ucapan selamat ulang tahun.

Tapi, tidak ada satu pun notifikasi darinya yang masuk.

Ya, mungkin dia sibuk dan lupa.

Jujur, sebenarnya aku merasa sedih. Tapi, aku lebih membenci perasaan canggung yang menyelimuti hubunganku dengan Dimas. Aku jadi takut untuk mengganggunya, takut untuk sekadar mengirimkan pesan yang tidak penting kepadanya.

Akan tetapi, sejujurnya, aku sangat merindukan semua momen yang pernah kulalui bersama Dimas. Saat kami ke toko buku bersama, menikmati segelas es kelapa di pinggir jalan. Ya, saat Dimas mengatakan bahwa terkadang aku juga membutuhkan minuman yang manis. Rindu ke kafe kesukaan kami, rindu bisa bebas bercerita apa pun kepadanya tanpa rasa canggung atau takut untuk mengganggunya.

Aku merindukan semuanya.

Tidak tahu akan terdengar egois atau tidak. Tapi, jika aku memiliki mesin waktu. Aku ingin mengulang semuanya. Tidak masalah jika dia harus terus-menerus memanggilku dengan sebutan Ibu Penulis. Asalkan dia tetap di sampingku.

Rasanya, aku ingin mengatakan pada Dimas bahwa seseorang yang dia panggil dengan sebutan Ibu Penulis ini sudah bertambah usia satu tahun.

Ah, kenapa aku jadi bingung dengan perasaanku sendiri, sih?

Baiknya aku menghubunginya atau tidak, ya? Sudah beberapa hari juga aku tidak bertemu dengannya dan aku merindukannya.

Tapi, aku juga tidak ingin mengganggunya. Lalu aku harus bagaimana?

Aku menatap ruang pesanku dengan Dimas. Ya, ruang pesan yang sudah tidak seramai dulu lagi. Ruang pesan yang kini hening dan seolah tidak bertuan.

Aku menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya aku mengetikkan sesuatu di sana.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang