Jika kini yang sering hadir di dalam hubunganku denganmu hanyalah rasa pilu yang semakin memburu. Lalu, untuk apa masih kita pertahankan?
***
Sudah hampir satu bulan berlalu. Dimas sudah selesai syuting untuk filmnya. Namun, selama itu pula aku menjauh dari Dimas. Hubunganku dengan Dimas benar-benar merenggang.
Tapi, beberapa hari yang lalu, Dimas memintaku untuk datang ke konferensi pers filmnya yang diadakan hari ini. Sebetulnya, aku ragu. Aku takut jika kehadirkanku di sana justru menciptakan masalah baru untuk Dimas.
Namun, pikiran itu kutepis karena Dimas sendiri yang memintaku untuk hadir. Akhirnya, hari ini aku mengajak Daffa dan Fiona untuk hadir juga.
Aku kini menatap diriku di depan cermin. Dimas bilang, hari ini acaranya tidak terlalu formal. Sehingga, aku memilih untuk memakai turtleneck sweater berwarna hitam yang kupadukan dengan celana cokelat. Aku mengoleskan sedikit liptint di bibirku, hanya agar tidak terlihat pucat saja.
Suara klakson mobil Daffa membuatku cepat-cepat berjalan ke luar dari kamar, meminta izin pada Mama, lalu menghampiri Fiona dan Daffa yang sudah menunggu di depan.
Aku duduk di kursi tengah. Sedangkan, Fiona dan Daffa duduk di depan.
"Lo cantik banget, Nin, hari ini. Sumpah!" puji Daffa. Hal itu membuat Fiona menampar pelan wajah Daffa dan mengerucutkan bibirnya.
"Daffa, kamu, mah! Kamu aja nggak puji aku cantik, ya, hari ini?"
"Ya, kamu, mah, nggak usah dibilang lagi, Fiona. Gimana juga, kamu udah selalu cantik di mata aku. Aku juga tahu diri, nggak mungkin aku pacaran sama Anin."
"Ya, tapi, ngelihatin Aninnya biasa aja!"
"Ya elah, Fi. Daffa, tuh, udah bucin banget sama lo. Kalo diibaratin, ya. Si Daffa nggak mungkin bisa lepas dari lo, Fi," sahutku. "Ya, kan, Daf?" tanyaku.
"Iyalah! Itu Anin aja ngerti."
Aku tertawa melihat pertengkaran mereka berdua. Mereka memang sering sekali bertengkar karena hal yang tidak penting. Sering sekali berbeda pendapat. Tapi, hubungan mereka selama ini terlihat sangat bahagia. Mungkin, karena keduanya ingin menjaga hubungan mereka masing-masing.
Mereka memang tidak romantis, tidak juga terlihat seperti pasangan idaman. Tapi, kenyamanan dan rasa saling memiliki di antara mereka berdua, mampu membuat hubungan mereka panjang hingga sekarang.
Aku menghela napas perlahan. Terkadang, aku iri dengan mereka. Ya, dengan Daffa dan Fiona, yang selalu bisa bersama tanpa memikirkan banyak hal rumit, yang bisa tertawa bersama tanpa beban, yang bisa melakukan apa saja yang mereka mau tanpa memikirkan perkataan orang lain, tanpa menghiraukan ekspektasi orang lain.
Ah, tapi sudahlah. Iri dan membandingkan diri dengan orang lain tidak akan ada habis-habisnya jika diteruskan.
Aku tersenyum sendu, menatap langit yang kini berwarna hitam gelap. Namun bertabur bintang dan juga bulan bersamanya. Suara lalu lintas di Jakarta terdengar jelas di telingaku.
Dimas, semoga kamu selalu bahagia, ya, batinku.
Beberapa saat kemudian, mobil Daffa berhenti di depan kantor rumah produksi, tempat di mana konferensi pers film Dimas akan diadakan. Ketika aku masuk ke dalam, aku mengembangkan senyum di bibirku, sebuah poster film berjudul Love in My Heart terpampang jelas. Wajah Dimas juga ada di sana.
Mimpi kamu jadi nyata, Dimas. Semua yang semula cuma kita cita-citakan, sekarang sudah menjadi nyata.
Beberapa rekan media terlihat sudah hadir di sana. Ada yang sedang mengatur kamera, berkutat dengan pena dan kertasnya, ada juga yang menunggu acara akan segera dimulai. Beberapa kru film tampak sedang membereskan meja-meja dan kursi yang akan digunakan untuk acara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Teen Fiction"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...