36. Kado Terindah

656 208 84
                                    

Jika hidup selalu dijadikan perlombaan, semuanya akan terasa sangat melelahkan.

***

"Ya, udah, deh. Karena aku juga baru banget selesai syutingnya hari ini, kita ke kafe biasa mau nggak?" tanya Dimas menawarkan.

"Beneran? Kamu nggak capek emangnya?" tanyaku ragu. Tapi, langsung ditepis oleh suara tawanya yang dapat kudengar.

"Enggak, Ibu Penulis yang bawel. Nanti, aku langsung ke sana, ya?" sahut Dimas.

"Nanti kapan? Sekarang banget?" tanyaku kaget.

Dia justru tertawa mendengarku. "Enggak, dong, Nin. Nanti jam 7 malam aja, ya? Sampai ketemu."

Aku tersenyum, sambil tertawa pelan. "Iya, sampai ketemu, ya, Dim," balasku. Tapi, setelah aku mengatakan hal itu, Dimas tidak juga mematikan panggilan.

"Kenapa belum dimatiin?"

"Ibu Penulis aja, deh, yang matiin," balasnya, membuatku terkekeh kecil, lalu mematikan panggilan.

Perasaanku, sekarang campur aduk. Di satu sisi, aku senang karena ternyata Dimas masih mengingat ulang tahunku walaupun tadi dia sempat lupa. Tapi, di satu sisi, entah mengapa perasaan gelisah itu masih bersarang di dalam dadaku.

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Perasaan gelisah yang terus membayangiku membuatku benar-benar tidak nyaman.

Bukannya harusnya aku bahagia karena Dimas berarti sudah menyempatkan waktu untuk merayakan ulang tahunku? Lalu, mengapa aku masih saja merasa gelisah?

Sekarang sudah jam lima sore. Aku memutuskan untuk mandi. Setelah selesai mandi, aku memilih kemeja panjang berlengan trumpet berwarna putih tulang dan juga celana jeans yang akan aku kenakan malam ini.

Saat sudah tepat jam 7, aku segera ke luar dari kamarku. Aku menatap Mama, yang kini juga menatapku sambil tersenyum. "Kamu ... mau ke mana, Nin?" tanya Mama heran.

"Anin mau ketemu Dimas dulu di kafe, Ma. Nggak lama, kok. Boleh, kan, Ma? Anin udah pesen ojek online juga, hehe," jawabku sembari menunjukkan deretan gigiku ke arah Mama.

"Tumben, Dimas nggak jemput kamu ke rumah? Biasanya, kalau mau ke mana-mana, dia selalu jemput ke rumah."

Aku mengangguk. "Iya, soalnya tadi sore Dimas baru selesai syuting buat hari ini. Dia pasti capek banget, makanya kita langsung janjian di sana," jawabku.

Suara klakson dan mesin motor terdengar dari depan rumah. Ah, itu pasti ojek onlineku sudah datang. Aku tersenyum ke arah Mama. "Ma, Anin pergi sebentar, ya."

Sebelum menaiki motor, aku mengirim pesan pada Dimas terlebih dahulu.

Anin: Dimas, aku berangkat ke kafe sekarang.

Beberapa saat kutatap layar ponselku, tapi Dimas tidak juga membalasnya. Dia hanya membacanya. Mungkin, dia sedang dalam perjalanan, sehingga dia tidak bisa membalas pesanku.

Aku lalu menaiki motor ojek. Tak lama setelah aku naik, motornya berjalan meninggalkan area kompleks rumahku. Kini, aku menatap kendaraan bermotor yang seolah saling berlomba di jalanan Ibu Kota.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang