Ngasih kepercayaan ke orang lain itu susah. Makanya, kalau udah dikasih kepercayaan, jangan justru disia-siain, ya?
***
Setelah membicarakan banyak hal dengan Kak Dimas di kafe, dia mengantarku pulang dengan vespa hitamnya.
Hal-hal yang kulalui bersamanya jadi terasa menyenangkan. Kemacetan di malamnya Jakarta saja bisa terasa menyenangkan karena obrolanku dengannya.
Jika aku bisa punya alat canggih, yang aku inginkan adalah memiliki mesin waktu. Agar aku bisa selalu bersamanya dan hal-hal menyenangkan yang kami lewati tidak akan berlalu dan berganti menjadi hal-hal yang menyakitkan.
Setelah beberapa saat, motornya berhenti di depan rumahku. Di sana, sudah ada mama yang menungguku sambil tersenyum. Aku melepaskan helm dan memberikan pada Kak Dimas.
Aku menghampiri mama dan mencium punggung tangan mama, begitupun juga Kak Dimas. Dia melakukan hal yang sama.
Ya, perlakuannya itu adalah salah satu hal yang membuatku begitu kagum dan jatuh cinta kepadanya. Dia sopan dan sangat tahu bagaimana cara menghargai orang lain, terutama pada orang yang lebih tua.
"Dimas, makasih, ya, udah anterin Anin pulang," kata mama berterima kasih. Dia melengkungkan senyuman di bibirnya.
Kak Dimas langsung membalas senyuman mama. "Sama-sama, Tante, maaf Dimas nggak izin dulu."
Mama mengangguk. "Tante percaya, kok, sama kamu. Kamu anak baik. Maaf, ya, kalau si Anin suka ngambek atau tingkahnya nggak jelas waktu sama kamu."
Aku menatap mama dengan malas. "Mama!"
Mama tertawa, begitu juga dengan Kak Dimas. Setelah itu, mama beranjak berdiri. "Ya, udah, Mama masuk ke dalam dulu, ya. Dimas nanti hati-hati pulangnya."
Kak Dimas mengangguk sopan. "Makasih, Tante."
Mama lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkanku dan Kak Dimas berdua. Aku tersenyum sambil menatapnya. "Kak Dimas, makasih banyak, ya."
"Jangan makasih mulu, bayar!" ledeknya.
Aku mengerucutkan bibirku. "Ih, emangnya sekarang Kak Dimas ganti profesi jadi tukang ojek?"
Kak Dimas tampak berpikir, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. "Boleh, deh."
"Kok, boleh?"
Dia lantas tersenyum. "Boleh, kalau penumpangnya Ibu Penulis yang suka nangis ini," ledeknya lagi.
"Kak! Kak Dimas sama aja, deh, kayak mama sama Bang Geri. Sukanya ngeledek aku terus."
Kak Dimas malah tertawa. "Ya, mungkin emang takdir lo kali."
"Kok, takdir aku, sih?" Aku tidak terima.
"Ya, reaksi lo kalau diledekin itu bikin orang kepengin ledekin lo lagi. Lo lucu, deh."
"Ih, emangnya aku badut?"
Dia lagi-lagi tertawa. Tanpa dia tahu, suara tawanya menghadirkan perasaan yang begitu hangat di dalam dadaku. Perasaan tenang, nyaman, dan bahagia yang kuharap tidak cepat berlalu.
Dia kini menatapku dengan cukup lekat. "Nin, gue boleh nanya sesuatu?"
"Dari tadi Kakak juga udah nanya."
"Sekarang, gue boleh nggak nyebut diri dengan sebutan aku dan manggil lo dengan sebutan kamu?" tanyanya.
Aku menautkan kedua alisku. "Emangnya kenapa?"
"Ya, nggak papa, biar samaan aja."
Aku tertawa. "Ya, udah, terserah Kak Dimas aja! Kak Dimas mau mampir ke dalam?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Novela Juvenil"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...