32. Hujan Badai dan Pelangi

737 195 106
                                    

Karena ditinggalkan dan melepaskan adalah suatu hal menyakitkan yang sulit untuk diterima.

***

Sekarang, aku lagi makan siomay bersama Fiona di kantin, tapi tiba-tiba Fiona disuruh kumpul organisasi sama seniornya, akhirnya aku sendiri.

Aku menatap ponselku. Kira-kira, Dimas sudah pulang belum, ya? Hari ini, aku belum melihatnya. Dia juga sama sekali tidak mengirimkan aku pesan.

Aku menggigit bibir bawahku, menimbang-nimbang apakah harus mengirimkannya pesan atau tidak. Akhirnya, aku putuskan untuk mengirimkannya pesan saja.

Anin: Dimas, kamu udah pulang?

Beberapa saat setelah aku mengirim pesan, sebuah notifikasi terlihat di ponselku, membuat aku menyunggingkan senyuman di kedua sudut bibirku.

Dimas: Belum. Aku baru selesai ulangan. Tadi, Pak Yo masuk kelasnya agak telat, makanya pulangnya juga jadi agak telat.

Anin: Kamu bisa ke kantin dulu nggak? Aku sendirian.

Dimas: Oke Ibu Penulis. Tungguin, ya.

Aku tersenyum-senyum sendiri karena membaca sebutan 'Ibu Penulis' yang dia berikan kepadaku. Bukannya menyebalkan, tetapi panggilan itu jadi terasa lucu dan membuatku ingin tersenyum.

Tak berapa lama, Dimas datang dari depan koridor kantin dan tampak membeli sekotak es teh. Setelahnya, dia duduk di depanku sembari menyesap es tehnya.

"Kamu, kok, sendiri? Biasanya sama Fiona?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya, soalnya Fiona lagi kumpul sama organisasinya. Kamu sendiri nggak ngurusin Harapan Musical?" tanyaku.

Dimas menggelengkan kepalanya. "Nggak, lagi nggak ada yang harus diurusin, kok."

Aku menatapnya, menatap wajahnya yang menghangatkan.

Sebenarnya, aku ingin menceritakan apa yang kurasakan kemarin. Aku juga ingin memintanya untuk menemaniku ke toko buku dan makam papa. Karena, sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke makam papa. Tapi, sekarang aku ingin. Aku ingin berkunjung hanya untuk sekadar melihat kondisi makam papa dan mendoakannya dari sana.

Kali ini, dia tidak mengajakku bicara. Semenjak beberapa suara notifikasi masuk ke dalam ponselnya, dia justru tampak sibuk dengan ponselnya.

"Dimas, aku boleh cerita?" tanyaku.

Pandangannya yang semula menatap layar ponsel, kini beralih ke arahku. "Boleh, mau cerita apa?"

Setelah mengatakannya, dia justru kembali menatap layar ponselnya lagi, membuatku ragu untuk cerita. Apakah dia sedang sibuk dan aku mengganggunya?

"Kamu lagi sibuk, ya?" tanyaku.

"Nggak papa, cerita aja."

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. "Oke, aku cerita, ya?"

Dia tidak mengeluarkan kata apa pun untuk menjawab pertanyaaku, tetapi disambut dengan anggukkan kepalanya yang kurasa dia menyetujui permintaanku.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang