“Setiap orang punya masalah hidupnya masing-masing dan kita enggak punya hak buat menghakimi, karena kita enggak tahu apa yang sebenernya terjadi.”
***
AKU berjalan menuju ruang musik untuk mengumpulkan formulir pendaftaran Harapan Musical. Aku menghampiri sosok lelaki yang tengah memegang setumpuk kertas yang tengah berdiri di depan ruang musik.
“Kak, saya mau kumpulin formulir,” kataku padanya, tetapi ia justru menatapku dengan tatapan yang tidak menyenangkan.
“Kamu telat 10 menit, saya enggak perlu anggota yang suka terlambat,” sahutnya dengan tegas.
“Tapi saya bener-bener mau gabung di Harapan Musical, Kak. Kasih saya kesempatan ya, Kak?” kataku meyakinkannya, tetapi tatapannya kepadaku justru semakin menyeramkan. Dia namanya Kak Aga, ketua Harapan Musical. Katanya, Kak Aga memang benar-benar galak dan disiplin. Katanya juga ia paling tidak suka dengan anggota yang terlambat. Jadi, aku bisa mewajari jika ia menolak formulirku.
“Kalau kamu beneran mau gabung, kamu pasti enggak akan terlambat cuma sekadar ngumpulin formulir doang.”
Aku menarik napas sejenak, sepertinya harapanku untuk masuk Harapan Musical akan pupus. Akan tetapi, seorang lelaki kini berdiri menghampiriku dan Kak Aga. “Ga, kebiasaan deh sukanya marah-marah sama anak baru. Dia cuma telat lima menit doang, kok. Lo kayak enggak pernah telat aja sih.”
“Telat ya tetep telat lah, Dim. Lo yang kebiasaan terlalu baik sama anak baru. Lama-lama anak baru jadi makin ngelunjak!”
“Ah, kaku banget sih lo kayak kanebo kering!” katanya lalu beralih menatapku.
Aku menoleh ke arahnya. Aku meneguk salivaku sendiri, itu adalah Kak Dimas. Ia menatapku seraya tersenyum. “Ayo masuk.”
Kak Dimas mengajakku untuk masuk ke dalam ruang musik. Aku menatapnya ragu, aku benar-benar malu karena Kak Dimas sudah dua kali menemuiku dalam kondisi seperti itu.
“Jadi, lo beneran mau gabung ke Harapan Musical?” tanya Kak Dimas. Aku menganggukan kepalaku. “Iya, Kak.”
“Mau masuk divisi apa?”
“Divisi penulisan, Kak,” jawabku seraya menatap matanya. Ia terlihat menganggukan kepalanya.
“Lo bisa nulis?” tanyanya lagi.
“Iya, lumayan bisa, Kak. Aku beberapa kali menang lomba bikin puisi dan cerpen tingkat nasional, pernah nulis di aplikasi online juga.” Aku menjawab pertanyaannya. Kak Dimas benar-benar seorang pendengar yang baik, ia menatapku dengan sungguh-sungguh ketika aku berbicara. Ia benar-benar menghargai lawan bicaranya.
“Gue cuma ngulang pertanyaannya Aga ya, Nin. Kalo misalnya lo emang niat, kenapa lo terlambat?” tanya Kak Dimas yang membuatku terdiam sejenak. Sepertinya, Kak Dimas penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Padahal, aku tahu jika Kak Dimas sudah mengetahui apa alasan aku terlambat datang.
Memori tidak mengenakan itu kembali terlintas di dalam benakku, napasku kembali mulai tidak karuan.
“Nin, sori kalo pertanyaannya terlalu sensitif. Kalau misalnya lo enggak mau jawab juga nggak papa kok, gue paham,” ujarnya seraya tersenyum hangat.
Aku menganggukan kepalaku.
“Maaf ya, Nin,” ujarnya lembut. Aku menoleh ke arahnya seraya menggelengkan kepalaku.
“Lo enggak mau maafin gue?”
“Bukan gitu. Maksudku, Kak Dimas enggak usah minta maaf. Harusnya aku yang minta maaf karena kejadian di kantin tadi. Aku juga mau bilang makasih karena Kak Dimas udah beliin teh hangat, tapi enggak aku minum.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Roman pour Adolescents"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...