17. Bad Day

1K 239 60
                                    

"Sebenernya, dia yang emang kasih harapan atau lo yang terlalu berharap sama sesuatu yang belum pasti?"

***

Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah bersama Fiona. Ketika kami tengah berjalan di koridor untuk menuju kelas, seketika aku melihat Kak Dimas yang tengah berjalan bersama Kak Jean.

Kak Dimas menatapku sambil tersenyum. "Nin."

Aku membalas senyumannya. Setelah menyapaku, Kak Dimas kembali berjalan bersama Kak Jean. Duh, mengapa pikiranku jadi ke mana-mana? Apakah mungkin Kak Dimas berangkat sekolah bersama Kak Jean? Lalu, mengapa Kak Dimas diam saja ketika Kak Jean jalan begitu dekat dengannya? Ya ampun, aku ini memikirkan apa, sih? Mereka akan menjadi lawan main satu sama lain, tentu saja mereka harus membangun chemistry. Mengapa aku masih saja bertanya-tanya?

Sesampainya di kelas, aku meletakkan tas cokelatku di atas bangku. Fiona pun duduk di sebelahku. Tapi, Fiona memang aneh, sekarang dia justru tertawa sambil menatapku.

Aku menatapnya heran. "Kenapa lo ketawa-tawa?"

Fiona mengangkat kedua alisnya secara bergantian. "Cemburu lo, ya?"

Aku semakin heran dengan arah pembicaraan Fiona. "Maksud lo? Cemburu kenapa?"

Fiona justru menjitak kepalaku. Aku heran, tidak Kak Dimas, Fiona, Bang Geri, semuanya rasanya gemas sekali ingin menjitak kepalaku. Memangnya aku salah apa sampai-sampai mereka ingin terus melakukannya?

"Fi, apaan, sih, jitak-jitak! Sakit tahu!" dumelku.

Fiona menghela napas. "Makanya nggak usah pura-pura nggak ngerti. Gue paham, lo pasti cemburu, kan, karena ngelihat Kak Dimas sama Kak Jean?" tanya Fiona.

Entah pertanyaan apa yang dilontarkan oleh Fiona. Memangnya aku cemburu? Lagian, mengapa juga aku harus cemburu dan memangnya aku siapa sehingga memiliki hak untuk cemburu?

"Ngapain gue cemburu, Fi? Lagian, emangnya gue punya hak apa buat cemburu?" balasku yang menjawab pertanyaan Fiona.

"Lo nggak usah denial sama perasaan lo sendiri, deh, Nin. Ini pertama kali gue ngelihat lo punya perasaan lebih sama orang lain. Itu wajar kalo lo ngerasa cemburu, Nin, karena Kak Dimas juga ngasih harapan lebih."

Aku berdecak. "Fi, emang lo yakin Kak Dimas ngasih harapan lebih? Kalo pada dasarnya dia emang tipe cowok yang baik ke semua cewek gimana? Lo aja, tuh, Fi, yang kebanyakan nonton drama! Hasilnya gini, kan, suka terlalu berharap sama yang belum pasti."

"Lo itu udah jatuh cinta sama dia, Anin. Lagian, ya, Kak Dimas juga biasanya nggak sedeket itu, kok, sama Kak Jean. Emang Kak Jean aja yang suka nempel-nempel sama Kak Dimas," jelas Fiona, yang sebenarnya aku juga tidak mengerti mengapa Fiona harus menjelaskan mengenai hal tersebut kepadaku.

"Emangnya kalo Kak Dimas beneran jadian sama Kak Jean kenapa? Mereka sama-sama cocok, kan? Sama-sama cantik dan ganteng, sama-sama pintar, sama-sama baik," kataku lagi. Di depanku, Fiona menatapku begitu lekat sambil memasang wajah pasrah.

Ya, aku dan Fiona memang sering sekali berdebat. Dan, sepertinya Fiona memang seringkali lelah setiap kali berdebat denganku. Tapi, kini Fiona semakin melekatkan tatapannya.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang