Kalau bisa, bacanya sambil dengerin multimedia, ya.
"Kadang, seseorang baru menyadari arti dari kehadiran seseorang setelah merasakan kehilangan."
***
Dua minggu sudah berlalu. Selama itu, aku mulai melanjutkan cerita yang kutulis di platform kepenulisan. Memang belum terlalu banyak dibaca oleh orang lain, tetapi benar kata Kak Andini, bahwa sebenarnya yang diutamakan dan paling utama dalam menulis adalah ketulusan hati dan bagaimana kita meletakkan perasaan di dalam cerita yang kita tulis.
Aku senang, senang sekali karena aku mulai berani untuk memperjuangkan mimpi yang kuinginkan sejak dulu. Ini juga karena Dimas yang terus mendukungku.
Tapi, hari ini aku tidak bahagia. Aku benar-benar merasa bersedih karena hari ini adalah hari ulang tahun papa. Aku benar-benar merindukan papa, aku selalu ingin papa kembali hadir di sini, aku ingin mengulang waktu dan membawa papa berada di sampingku sekarang.
Aku ingat sekali, waktu aku kecil, aku belajar membuat kue dengan mama untuk memberikannya kepada papa.
Saat itu, aku dan mama berjalan mendekati papa dan memberikan kue ulang tahun yang kami buat, dengan lilin yang menyala di atasnya.
"Wah, siapa yang bikin ini?"
"Anin yang bikin, lho, Pa. Geri juga bantuin, tuh, bantuin ngerecokin," jawab Mama.
Papa langsung menggendongku dan memeluk tubuh mungilku dengan begitu hangat. Dia mencolek hidungku seraya tertawa gemas. "Anak papa pinter banget, ya? Udah bisa bikin kue aja. Nanti kita beli buku baru, ya? Jagoan Papa yang satu ini juga keren," kata Papa. Tangannya mengusap kepala Bang Geri dengan bangga.
"Sekarang, Papa tiup lilin dulu," suruh Mama.
Papa memejamkan matanya, seperti memohon sesuatu di dalam hatinya. Setelah itu, papa kembali membuka matanya dan meniup lilin tersebut.
"Kita foto, yuk!" Papa mengambil sebuah kamera dan memotret swafoto kami berempat.
Kini, foto itu berada di genggamanku. Aku merasakan air mataku perlahan-lahan menetes membasahi pipiku. Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan perasaan sesak yang menyeruak di dalam dada.
Dengan suara dan tangan yang gemetar, aku mengelus wajah papa di foto tersebut. "Selamat ulang tahun, Papa. Semoga Papa selalu tenang di sana, ya. Anin sayang banget sama Papa. Makasih dan maaf, Pa. Makasih udah jadi sosok Ayah yang terbaik buat Anin," kataku.
Kepalaku sekarang terasa sakit sekali. Dadaku terasa sesak. Semua hal buruk yang terjadi dengan papa kembali terlintas di benakku.
Hal yang tak pernah kuinginkan. Hal yang selalu menjadi mimpi buruk untukku. Aku menyaksikan bagaimana tubuh Papa tertabrak dan penuh darah di depan mata kepalaku sendiri. Aku juga melihat bagaimana kondisi Papa yang sudah tidak bisa ditolong dan diselamatkan lagi.
Dan, itu semua karenaku. Itu semua karena Papa menyelamatkan aku.
Aku memegangi kepalaku yang terasa sakit dan semakin sakit. Aku beranjak berdiri dan duduk di atas kasur, meremas kuat bantal yang ada di sebelahku untuk meluapkan semua rasa sakitku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Teen Fiction"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...