11. Senang dan Sedih

1.2K 288 64
                                    

"Lo nggak sendiri. Coba lihat di sekeliling lo, banyak banget orang yang sayang sama lo."

***

KAK Dimas lalu kembali mengendarai mobilnya dan mengikuti arahanku. "Bener, kan, arah rumah kamu ke sana?" tanyanya.

Aku menganggukkan kepalaku, seolah memberi jawaban benar atas pertanyaannya. Akan tetapi, kini aku menatapnya dengan begitu heran. Sepertinya dia tersadar jika aku perhatikan, sehingga Kak Dimas kini menoleh ke arahku. "Kenapa? Salah, ya?" tanyanya.

Aku menggeleng, tetapi masih tetap menatap Kak Dimas. "Bener, Kak, tapi kalo Kak Dimas ngomongnya kayak gitu jadi aneh," jawabku.

"Aneh kenapa, Nin?" Dia bertanya lagi.

Aku berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab pertanyaannya. "Ya, menurutku aneh aja kalau misalnya Kak Dimas ngomong pakai aku-kamu. Kak Dimas ngomongnya biasa aja, ya?" pintaku.

Suara tawa renyah Kak Dimas terdengar setelah aku berbicara. "Anehnya gimana, Nin?" tanyanya bingung.

Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal, lalu menunjukkan deretan gigiku ke arahnya. "Ya, aneh aja, Kak. Aku kayak nggak biasa denger Kak Dimas ngomong kayak gitu. Lagian, aku juga nggak papa kok kalau Kak Dimas ngomong kayak biasanya. Beneran, deh!" kataku sembari mengangkat jari telunjuk dan tengahku secara bersamaan.

Kak Dimas kembali tertawa. "Lo lucu, ya, Nin."

"Aku lagi nggak ngelawak, Kak. Lagian, aku punya cita-cita buat jadi penulis, bukan jadi pelawak! Dan, jadi diri sendiri itu, kan, emang bagus, Kak," balasku.

Kak Dimas kini mengangguk-anggukkan kepalanya setelah mendengar perkataanku. "Iya, deh. Makasih banyak, ya, ibu penulis. Gue tunggu buku bertanda tangannya," ledeknya.

Aku menatapnya malas. "Kak Dimas, mulai, deh!"

"Ya, enggak papa, dong. Ketika kita berdoa tentang sesuatu yang baik, bisa jadi yang terjadi nanti adalah hal baik juga. Gue yakin, kok, lo pasti bisa!" papar Kak Dimas, membuatku lagi-lagi terkagum akan pemikirannya.

Aku tersenyum hangat ke arahnya. "Makasih, ya, Kak. Semoga besok juga castingnya lancar," balasku menyemangati.

"Harusnya, gue yang bilang makasih karena lo udah mau dateng malem ini."

Aku semakin kagum dengan kepribadian Kak Dimas. Dia tidak segan untuk mengucapkan kata terima kasih, kata yang katanya sekarang menjadi sesuatu yang sangat mahal untuk diucapkan. Kak Dimas terus melajukan mobilnya, hingga kini berhenti di depan rumahku.

"Nin, titip salam, ya, buat nyokap sama abang lo. Gue balik," pamit Kak Dimas. Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu turun dari dalam mobil Kak Dimas.

Aku memasuki rumah. Bang Geri duduk di ruang tamu sambil tersenyum-senyum sendiri, membuatku heran ketika menatapnya. "Bang, lo gila, ya? Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" tanyaku ngeri karena Bang Geri senyum-senyum sendiri. Abangku itu memang suka aneh, tetapi kelakuannya malam ini sungguh membuatku ngeri.

"Cie, akhirnya adik gue nggak jadi jomblo karatan selamanya. Tadi, mama bilang, lo balik bareng cowok, ya? Siapa? Kenalin, dong!"

Aku berdecak kesal. "Apaan, sih, Bang!"

Bang Geri masih menggodaku. Dia mengedipkan satu matanya ke arahku. "Nggak usah salting gitulah, Nin. Siapa, sih, emangnya? Kenalin dulu, dong," pinta Bang Geri.

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang