44. Tentang Mimpi dan Angan Kita

756 225 73
                                    

Mantan tuh bukan dilupain, tapi harusnya diikhlasin.

***

"Dimas, gimana hubungan kamu sama Tania sekarang?"

"Kamu kecewa nggak, sih, ngelihat foto-foto mesra Tania? Pendapat kamu gimana?"

"Dimas, klarifikasi, dong, tentang hubungan kamu dan Tania."

"Bener ya hubungan kalian cuma gimmick?"

Aku yang semula tengah memakan keripik cokelat, meletakkan makananku di atas meja dan menatap layar televisi yang ada di hadapanku. Kini, aku sedang kerja kelompok bersama Fiona di rumahku. Lebih tepatnya, di dalam kamarku.

"Gila, ya! Si Dimas nggak berhenti-berhenti dicecer," kata Fiona, sambil terus mengunyah keripik yang ada di mulutnya.

"Dia pasti pusing banget," sahutku.

"Tapi, keputusan Dimas buat nggak ngomong apa-apa menurut gue bagus, sih. Jadi dia nggak bikin media nyebarin asumsi dan berita baru tentang dia sama Tania," ujar Fiona. "Sebenernya tuh nggak masalah Tania punya pacar, selama dia profesional sebagai lawan mainnya Dimas di film. Masalahnya, mereka berdua udah dibalut gimmick, sih, dari awal. Susah jadinya. Fans-fansnya yang berharap banyak, pas ternyata cuma gimmick, makanya pada kecewa."

Aku termenung, teringat pada surat Dimas yang sebenarnya Dimas juga tidak ingin melakukan gimmick tersebut. "Fi, lo jangan bilang siapa-siapa, ya."

"Kenapa?" tanya Fiona penasaran.

"Ya, jangan bilang siapa-siapa. Janji lo, ya?"

Fiona mengangguk. "Iya! Lama lo! Kayak baru sebentar kenal sama gue!"

"Jadi, tuh. Dua hari yang lalu, gue baru baca surat dari Dimas. Padahal, surat itu udah dia kasih ke gue pas gue ulang tahun. Cuma, waktu itu gue berantem sama dia, akhirnya suratnya belum sempet gue baca."

"Terus?"

"Ya, gitu. Ternyata, Dimas itu sebenernya juga nggak mau digimmickin kayak gitu. Dia mau buktiin bakatnya dia di dunia akting. Tapi, sayangnya banyak banget tuntutan. Dari manajemen, dari tim promosi, banyak deh, Fi!"

Fiona menghela napas berat. "Ribet kali, ya, jadi artis terkenal kayak gitu? Gue kayaknya harus mengurungkan niat gue dan menolak banyak tawaran yang masuk ke gue buat jadi artis," kata Fiona ngawur.

"Dih, ngaco!"

Fiona tertawa.

"Lo waktu itu jadi ke premier filmnya Dimas?" tanyaku.

Fiona mengangguk. "Jadi, tapi nggak sempet ngobrol sama Dimasnya. Ya, karena kan rame banget. Ternyata, gosip jelek tentang mereka nggak bikin jumlah penonton filmnya sepi."

"Oh, ya? Bagus nggak filmnya? Gue baru nonton trailernya doang, sih!"

Fiona mengentukkan dagu dengan jemarinya. "Bagus. Akting Dimas juga bagus. Aktingnya nggak kaku, kayak udah pernah banyak main film. Kayaknya sih karena dia sering main di teater juga."

"Kalo penasaran, nonton aja! Jangan ngelak mulu dari mantan. Mantan tuh bukan dilupain, tapi harusnya diikhlasin."

Aku hanya terdiam setelah mendengar ucapan Fiona. Ya, ikhlas itu memang mudah sekali untuk dikatakan, tetapi sangat sulit untuk dilakukan.

Aku akhirnya mengambil ponselku dan membuka akun aplikasi kepenulisan onlineku. Mataku terbelalak ketika melihat apa yang sedang kulihat sekarang. Aku langsung menggenggam Fiona dengan erat. "Fi!"

Di Balik Layar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang