Sedih itu hak semua orang.
***
Setelah kondisiku membaik, aku menelepon Bang Geri dan memintanya untuk menjemputku. Tak berapa lama, dia datang. Dia menatapku dengan ekspresinya yang terlihat cukup panik.
Dia berjalan dengan cukup tergesa-gesa untuk menghampiriku, lalu memegang tanganku yang sekarang pasti terasa dingin.
"Heh, lo nggak papa?" tanyanya sambil duduk di sampingku.
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung memeluk tubuhnya dengan sangat erat. Aku menelungkupkan wajahku di dadanya, menangis sejadi-jadinya di sana. Dia membalas pelukanku juga dengan sama eratnya.
"Bang, hari ini Papa ulang tahun," isakku. Bang Geri tak menjawab apa pun. Jemarinya dengan lembut mengelus rambutku.
"Harusnya Papa masih ada di sini, ya, kalau waktu itu nggak pergi sama gue?" Aku terus menangis, meluapkan semua emosiku.
Aku ingin berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku ingin ke luar dari zona yang hanya akan menyakitiku saja, tapi entah mengapa rasanya susah. Rasanya terlalu menyakitkan untukku. Ini seperti beban yang harus kutanggung seumur hidupku, sampai aku mati.
"Gue kangen sama Papa, Bang. Gue maunya Papa ada di sini," lanjutku lagi.
"Papa udah bahagia dan tenang di sana, Nin. Dulu, kan, selama hidup di dunia, papa orang baik. Papa nggak pernah jahatin orang. Tuhan pasti sayang sama Papa, Nin," jawabnya.
Aku memejamkan mataku. Kali ini aku hanya terdiam. Aku hanya memeluk Bang Geri tanpa mengatakan apa pun. Justru, dia yang mulai berbicara.
"Gue tahu pasti susah. Gue tahu ini mimpi buruk buat lo. Tapi, cukup nyalahin diri lo sendiri. Cukup nyakitin hati lo sendiri," katanya. "Walaupun lo nggak jelas banget, resek, sukanya marah-marah kalo gue dengerin lagu kenceng-kenceng, tapi hati gue berasa sakit banget kalo liat adek gue lagi begini."
"Papa juga nggak bakal bahagia kalo liat lo sedih mulu, Nin."
"Emangnya gue nggak boleh sedih, ya? Gue harus semangat terus?"
"Ya, enggak. Lo boleh sedih. Sedih itu hak semua orang, tapi kalo sedih lo justru bikin hati lo jadi tambah sakit gimana? Gue nggak sanggup liatnya. Gue sama Mama, tuh, sayang banget sama lo, lebih dari apa pun," jelas Bang Geri. "Gue udah kehilangan Papa dan itu juga bikin gue terpukul banget. Gue nggak mau kehilangan lo juga."
Aku masih memeluknya dan menumpahkan air mataku di sana. "Beneran lo sayang sama gue?"
"Iyalah. Lo adik gue satu-satunya, cewek, cengeng lagi. Apa-apa nangis, apa-apa ngambek. Gimana gue nggak khawatir sama lo? Gue sayanglah sama lo," jawabnya.
"Menurut lo, kalo gue nggak sayang sama lo, gue mau gitu nganter jemput lo dari dulu pas SMP?" tanyanya lagi.
"Udah, ah, Nin, meluknya. Nggak bisa napas tahu!" suruhnya.
Aku melepaskan pelukanku dan tersenyum menatapnya. Kini, aku meletakkan kepalaku di bahunya.
"Biasanya lo sama Dimas. Kenapa ke sini sendirian? Tadi, gue juga ada di kamar. Kenapa nggak minta anterin gue?" tanya Bang Geri.
"Ya, lo, kan, lagi sibuk banget ngerjain tugas. Gue takut ganggu lo."
"Kenapa Dimas biarin lo sendirian?" tanya Bang Geri. Ada raut marah di wajahnya, membuatku semakin yakin jika dia memang menyayangiku. Walaupun, dia memang menyebalkan dan suka meledekku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Novela Juvenil"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...