“Lo enggak akan tahu apa yang terjadi sama lo kalo lo nggak pernah nyoba.”
***
AKU membicarakan hal-hal seputar SMA Harapan dengan Kak Dimas di atas motornya. Ternyata, Kak Dimas sosok yang cukup menyenangkan dan nyambung jika diajak bicara. Akan tetapi, aku sedikit terkaget ketika ia memarkirkan motornya di depan sebuah toko buku.
“Nin, mampir sebentar ya. Nggak papa, kan?” tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Tidak, aku tidak keberatan sama sekali tentang hal ini. Karena aku suka sekali pergi ke toko buku. Aku sangat suka menatap buku-buku yang tertata rapi di dalam rak. Dalam hati, aku selalu berharap jika suatu saat nanti bukuku akan menjadi salah satu yang terpajang di antara buku-buku keren lainnya.
“Lo pasti suka ke toko buku juga.” Perkataan Kak Dimas membuatku menoleh ke arahnya. Dari mana ia bisa tahu isi pikiranku sekarang?
Dahiku berkerut karena terbingung. “Kenapa Kak Dimas bisa tahu isi pikiran aku sekarang? Jangan-jangan, Kak Dimas paranormal ya?”
Kak Dimas justru tertawa mendengarkan pertanyaanku. “Ngaco, ya enggak lah, Anin.”
“Terus kenapa Kakak bisa tahu tanpa aku kasih tahu?” tanyaku yang masih penasaran.
“Karena tadi lo bilang kalo lo suka nulis dan pernah menangin beberapa perlombaan yang berhubungan sama menulis,” jawabnya, tetapi aku masih bingung dengan Kak Dimas.
“Terus apa hubungannya?”
“Biasanya, orang itu mencintai sesuatu yang sama kayak bidang yang dia tekunin. Misalnya, penulis pasti suka baca buku, musisi pasti suka dengerin lagu, aktor pasti suka nonton film. Nggak semuanya sih, tapi biasanya begitu,” jawab Kak Dimas logis. Aku menganggukan kepalanya yang berarti setuju dengan perkataannya.
“Kalo lo, termasuk yang suka baca buku ya?” tanya Kak Dimas. Aku menganggukan kepalaku.
“Iya, dari kecil aku suka banget baca buku. Kayaknya, aku bakalan mati karena bosen kalo enggak ada buku deh. Kedengeran lebay sih, tapi aku emang suka banget baca buku.”
Kak Dimas mengangguk antusias. Ia adalah orang yang menyenangkan, yang selalu mau dengan senang hati mendengarkan apa yang tengah dibicarakan oleh lawan bicaranya. “Suka baca bukunya siapa?”
“Siapa aja, bahkan dari kecil aku suka pinjem buku-buku masakan punya mama atau buku-buku politik punya papa. Penulisnya aku suka baca siapa aja sih, kalo dari Indonesia, aku pernah baca bukunya Eyang Sapardi Djoko Damono, Eyang Pramoedya Ananta Toer, W. S Rendra, Chairil Anwar, Ayu Utami, Taufiq Ismail, Kahlil Gibran, masih banyak deh.”
“Kalau dari luar, aku juga suka baca beberapa sih, buku terjemahan juga kadang aku baca,” jelasku.
“Lo pasti mau jadi penulis ya?” tebaknya lagi.
“Ih, sekarang aku beneran percaya kalau Kak Dimas itu paranormal.”
Ia tertawa lagi. “Gue cuma nebak, Nin. Jadi, lo beneran mau jadi penulis?”
Aku menganggukan kepalaku, tetapi beberapa detik setelahnya aku memikirkan sesuatu, membuat Kak Dimas menatapku sejenak. “Kenapa?”
“Iya, aku mau jadi penulis, tapi suka nggak percaya diri dan ngerasa nggak berbakat sama tulisan sendiri.”
“Setiap tulisan itu pasti punya pembacanya, Nin. Itu pasti, enggak mungkin nggak ada pembaca yang baca cerita lo sama sekali. Sedikit atau banyak, mereka itu berharga banget. Sama kayak pendengar musik, sama juga kayak penonton film,” jelasnya yang membuatku adalah suatu hal yang benar. Entah mengapa, Kak Dimas selalu berhasil membuatku kagum dengan pemikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Layar [Completed]
Novela Juvenil"Bersamamu adalah sebuah kemustahilan yang kuharapkan." "Terlalu banyak tanya dibenakku tentangmu, terlalu banyak hal yang kupikirkan tentang dirimu. Sampai aku lupa, jika aku dan kamu hanya akan menjadi sebuah kata yang berdiri sendiri dan tidak ak...