Manusia hina

2.1K 214 4
                                    

Suatu pagi yang cerah dan hangat di sebuah kota kecil bernama Domus Aurea. Jika ditelaah dari kebahasaan surga maka makna dari nama kota ini adalah House of Gold, Rumah emas.

Mungkin cahaya matahari yang terpancar megah di setiap sudut kota tampak seperti emas yang berkilauan, menjadi alasan Malaikat, Iblis maupun manusia memanggil kota kecil ini seperti itu.

Di antara kilauan mentari, di antara bangunan marmer putih yang berpijak di tanah hangat dan subur kota ini, berdiri sebuah kuil Malaikat yang tampak menawan seolah-olah menjadi rumah Tuhan di dunia. Berdiri tegap di pusat kota Domus Aurea dengan patung Malaikat Agung Gabriel berdiri di atas atapnya, menatap lurus ke kota seolah-olah mengawasi gerak-gerik manusia yang berlalu-lalang di hadapannya.

Seorang gadis bersurai hitam pekat, berpakaian putih bersih yang bersaingan dengan kulit porselain nya sendiri, sedang bertelut di hadapan altar Tuhan. Tangannya memohon di depan dada, matanya terpejam rapat, kepalanya membungkuk merendah diri.

"Berilah perlindungan Mu pada kami semua,"

"Jauhkanlah kami dari segala macam marabahaya dan ancaman iblis,"

"Hadirlah selalu di dekat kami, Ya Tuhan,"

Bibir berbentuk hati itu merapalkan doa-doa kepada Sang Penguasa langit dan bumi. Suara lembutnya beriringan dengan dentang lonceng gereja yang menggema di dalam ruangan, bersahut-sahutan untuk mengadu kepada Tuhan.

"Malaikat Gabriel, lindungi kami,"

"Amin,"

Gadis itu membuka matanya dengan perlahan, pandangan nya bertemu dengan sosok Tuhan yang berdiam tenang di atas altar. Senyum mencuat di bibir nya, seolah-olah merasa lega dan bahagia saat berada di dekat Tuhan.

"Jisoo..."

Seorang pria tua dengan jubah keunguan berjalan perlahan menuju si gadis. Langkah nya yang teratur namun tegas, jubahnya menjuntai hingga bersentuhan dengan lantai marmer, pandangan matanya yang sayu dan penuh kedamaian.

"Ayah..."

Gadis yang bernama Jisoo segera bangkit berdiri dan memberi salam pada pria itu. Di peluknya sang ayah dengan hangat, lalu diciumnya pipi kanan pria itu. Sebuah salam singkat namun bermakna yang sudah dia lakukan sedari kecil, sejak dia diselamatkan dari hutan belantara.

"Tuhan pasti sangat senang melihat kehadiran mu di sini setiap hari nak," ucap pria itu, mengelus lembut pucuk kepala Jisoo.

"Tidak ayah. Akulah yang merasa senang karena Tuhan mengizinkan ku untuk hadir di sini setiap hari,"

Pria berjubah ungu itu tersenyum lembut mendengar jawaban Jisoo yang tulus. Semua orang di kota ini memang sangat dekat dengan Tuhan, tapi tidak ada yang sedekat Jisoo. Jisoo, dia sudah mempersembahkan diri dan hidupnya kepada Tuhan, itu bukanlah rahasia lagi.

"Ayah akan pergi? Kenapa memakai jubah selengkap ini?"

"Iya nak. Ayah harus pergi selama beberapa hari ke depan. Ada pertemuan kepala kuil di kota sebelah, dan ayah diundang untuk datang,"

"Oh benarkah? Kenapa ayah tidak memberi tau ku lebih dulu? Aku bisa mempersiapkan bekal untuk perjalanan ayah kan?" Tanya Jisoo dengan murung.

"Kamu sudah sangat repot mengurusi kuil dan umat yang datang, ayah tidak mau merepotkan mu lebih jauh. Lagipula perjalanan dari sini ke kota sebelah tidak begitu jauh, ayah akan tiba di sana sebelum senja,"

Jisoo menghela napas. Dia mengasihi ayahnya, tapi memang benar bahwa akhir-akhir ini kuil sangat sibuk.

"Baiklah ayah, aku mengerti,"

IBLIS BUCIN || ChaeSooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang