Bab 11

1.2K 216 15
                                    

Benar. Oce semakin tertutup kepada mereka. Cewek itu selalu berangkat dari kosan jam enam pagi dan pulang jam sembilan malam.
Sudah seperti Bang Toyib saja. Hal itu begitu membuat para kakaknya terheran-heran dan ingin tahu, kenapa Oce bisa menghabiskan waktu sebanyak itu diluar rumah. Bagaimana cara rebahannya? Masa di trotoar? Itu pasti tidak mungkin.

Mereka tidak tahu saja jika adik perempuan mereka habis di cipok sama preman kampus yang satu gedung kosan sama seperti mereka. Hal itu begitu membuat Jiya khawatir. Perempuan itu telah menganggap Oce seperti adik kandungnya sendiri.

Jiya tidak tega, apalagi saat melihat Oce yang pulang malam dengan wajah lesu dan terkadang membawa luka. Jiya juga merasa sedikit kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa membantu Oce. Tapi bagaimana mau membantu jika Oce selalu menyembunyikan masalahnya dari dirinya?

"Lo nggak mau coba ikutin aja?" Gina memberi saran.

Jiya menggeleng. Perempuan itu memakan camilannya kembali. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Mereka semua mendapat jadwal pagi untuk hari ini, sedangkan Oce hari ini tidak ada jadwal kuliah sama sekali.

"Nggak. Gue nggak mau rusak privasinya. Dia pasti cerita ke gue kalo hal itu emang wajar untuk di ceritakan. Atau emang dia mau cerita, dia pasti cerita kok."

"Ya kalo gini terus kita nggak bakalan tau apa yang buat Oce pulang malem terus. Apalagi kemarin malem gue liat dia pulang dianter Yuta. Apa lo coba tanya ke Yuta aja? Siapa tau ada hubungannya sama cowok itu." Iren menyahut dari sofa tengah.

Tidak ada yang menjawab semuanya.

"Dia masih tidur?" Jennie bertanya kepada Jiya. Yang ia maksud adalah Oce.

Jiya mengendikkan bahunya. "Nggak tau. Tapi dia dari kemarin malem belum keluar juga."

Iren mendengus. "Ada apaan sih sama itu bocah? Kenapa jadi tertutup sama kita-kita? Apa perlu gue eksekusi Si Rupiah biar dia mau terbuka sama kita lagi??"

"Gue goreng itu Si Wonie." Gina berkata penuh gemas.

"Gimana kalo Si Ringgit gue jadiin ayam penyet aja? Eh, mana bisa ya? Itu ayam kan masih bocil. Belum dewasa kayak Si Pipot."

Mereka semua terdiam dengan pikiran yang sama. Mereka semua ingin Oce kembali seperti semula. Bersikap ceria dan ekstrovert kepada mereka. Selalu ada waktu di kosan menghabiskan hari libur bersama yang lain.

"Lho? Bukannya lo hari ini nggak ada jadwal kuliah?" Jennie bertanya heran kepada Oce yang kini sudah rapi dengan setelah kemeja serta celana jeasn-nya.

Mereka semua menoleh kearah tangga. Jiya langsung berdiri dari kursi dan berjalan cepat kearah Oce. Perempuan itu mengecek seluruh badan Oce dengan raut wajah khawatir.

"Nggak ada yang luka kan??" Jiya sangat khawatir.

Oce menggeleng pelan kemudian menyingkirkan tangan Jiya yang bertengger di kedua pipinya. Perempuan itu mengambil sepatunya di rak. Kemudian memakainya dalam diam.

"Ce. Si Jiya tanya." Iren berkata mengingatkan saat cewek itu tidak menjawab sama sekali.

Oce melirik mereka sekilas. "Nggak papa."

Perempuan itu melanjutkan kesibukannya. Para kakaknya hanya memperhatikan dengan pandangan prihatin dan kecewa.

Oce berdiri dari duduknya. Perempuan itu membenarkan letak tasnya kemudian mengalihkan atensi kepada para kakak perempuannya.

"Mbak, nanti gue mau manggung di Cafe deket puncak. Mungkin pulangnya malam. Jadi, nanti pintunya langsung di kunci aja. Gue bawa kunci cadangan."
Oce mengangkat kuncinya kemudian berlalu dari sana.

Rumah BuRonan (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang