Bab 17

1.1K 224 14
                                    

"Biar gue aja yang masuk Bang."

Oce menghentikan Yuta yang juga ingin masuk ke salah satu ruangan bersama dirinya. Ia menatap lelaki itu penuh dengan keyakinan.

"Ini masalah gue. Gue nggak mau lo terseret." Oce berujar serius.

Yuta menghela nafas. Bukan karena ia ingin ikut campur atau apalah itu, ia hanya khawatir jika kakak dari gadis di depannya membuat masalah sehingga bisa menyebabkan dirinya terluka.

"Langsung panggil gue kalo ada apa-apa."

Oce mengangguk. Pantas saja, kamar yang digunakan kakaknya itu kedap suara. Yuta menyenderkan punggungnya di dinding luar kamar itu, tepatnya di sebelah pintu masuk kamar tersebut.

Oce lantas segera masuk ke kamar yang digunakan untuk memulihkan kondisi psikis kakaknya. Alias ruangan yang digunakan saat mediasi mental. Ia menutup pintunya, dan terkunci otomatis dari dalam. Cara lain untuk membuka pintu itu adalah dengan menggesekkan kartu khusus. Kartu tersebut hanya bisa digunakan untuk masuk ke dalam. Sedangkan jika ingin keluar dari dalam, kita tinggal memasukkan kode dari kamar tersebut.

Oce membalikkan badan, hanya kamar berukuran 3×3 meter yang matanya tangkap. Hanya ada sebuah ranjang yang merupakan fasilitas satu-satunya di dalam kamar itu. Semua nampak berantakan dan rusak sehingga tidak ada perabot lain selain ranjang yang utuh. Kosong, seperti pandangan mata seorang wanita yang duduk diatas ranjang.

Oce berjalan mendekat ke ranjang dengan hati-hati. Di lantai banyak sekali pecahan-pecahan barang lain sehingga hanya tersisa ranjang saja yang utuh. Semula masih ada meja nakas serta vas bunga, bahkan di pojokan ada aquarium bulat berisi ikan hias karena sang pemilik kamar menyukai ikan.

"Kakak.." Oce memanggilnya.

Hening. Tidak ada jawaban. Sang empu nama hanya sibuk menatap keluar jendela. Menghiraukan adiknya atau memang tidak sadar jika ada orang yang datang.

"Kak Ale? Ini Oce." Oce semakin memperlambat langkahnya.

Pandangan sang pemilik kamar yang semula kosong kini tergantikan dengan tatapan penuh kebencian. Bedanya, pandangan perempuan itu masih mengarah pada jendela. Terlihat begitu marah, dan tak tersentuh.

Oce berhenti saat langkahnya tepat berada di samping Ale. Kakak perempuannya. Kakak yang paling dirinya sayang. Kakak yang dulunya nampak tidak peduli padanya, namun juga seorang kakak yang maju paling depan jika terjadi sesuatu pada Oce. Sayangnya, kakak yang juga sering melukainya.

Oce menatap kakaknya penuh harap. Walaupun mimik wajah perempuan di depannya itu nampak tidak bersahabat, nyatanya hal tersebut Oce anggap sebagai sesuatu yang transparan. Hingga dirinya lupa jika Ale pernah tega hampir membunuh seseorang.

Oce terlalu senang karena saat dirinya berkunjung kesini, Ale tidak bereaksi lebih seperti biasanya atau dengan tanda kutip melukainya. Ia memang sering pulang malam karena ingin menemani kakaknya. Walaupun tidak satu ruangan, Oce lebih lega jika mendengar kabar Ale secara langsung.

Ia mengulurkan tangan untuk memeluk kakak satu-satunya. Dengan pelan, tangannya melingkar sempurna di bahu kurus milik Ale. Kakaknya tetap tidak bereaksi, perempuan itu masih menatap langit dengan pandangan penuh dendam. Sayangnya Oce tidak menyadari itu karena kepalanya tepat berada di samping kepala Ale sehingga tidak bisa mengetahui ekspresi sang kakak.

"Kakak apa kabar?"

Pertanyaannya hanyalah sebuah basa-basi saja. Karena apapun yang akan Oce lakukan, Ale akan tetap diam saja. Tidak akan peduli sama sekali. Kecuali Ale yang merasa terganggu akan kedatangannya, sudah dipastikan Oce pulang membawa luka.

Rumah BuRonan (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang