Ronan mengambil posisi duduk di depan polisi setengah baya itu. Wajahnya sayu, terasa lelah karena telah bolak-balik ke sana kemari untuk mengambil bukti.
"Begini Bu, apa Anda tau, siapa orang terakhir yang bersama korban?"
Ronan menjawab dengan gelengan, "Saya tidak melihat korban dari satu hari terakhir. Tapi, Saya turut curiga Pak. Oce tidak mungkin masuk ke dalam dapur yang bukan tempat umum. Dia tidak mungkin masuk ke sana tanpa ada orang yang ia kenal. Atau dorongan dari orang lain."
Polisi tersebut menghela nafas, "Dari meja yang dia duduki, kami tidak menemukan sidik jari selain korban."
Ronan termenung. Tidak mungkin, jika memang begitu, siapapun orang tersebut, pasti dia telah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Ia mengangkat wajah, menatap Polisi di depannya dengan sorot lekat.
"Apakah ada bukti lain?"
Polisi tersebut mengangguk. Membolak-balikkan kertas yang ia pegang.
"Ada yang aneh. Saat mendengar suara meledak, ada seorang pengunjung yang membantunya dengan menelepon riwayat nomor terakhir di ponselnya yang ditinggalkan di meja. Rencananya seperti itu, sebelum semua itu tidak berjalan karena dia tidak menemukan satu nomor pun di kontaknya. Jika memang ini murni, tidak mungkin korban tidak menyimpan satu nomor pun di ponselnya. Dan kami juga melihat jika ponsel korban adalah ponsel yang sudah lumayan lama," jelas Polisi tersebut.
"Terasa aneh jika dia tidak menyimpan satu nomor pun. Pasti ada orang lain yang menjadi dalangnya. Namun, kami belum bisa memastikan, apakah dia pelaku yang sama dengan kejadian bom peredam tersebut."
Ronan menatap langit-langit dengan alis mengerut.
"Cafe itu sudah tidak aneh lagi bagi Oce. Karena dia selalu ke sana bersama anak kosan yang lain Pak."
Polisi tersebut mulai menaruh atensi, "Sekiranya, apakah Anda tau siapa yang sering korban ajak ke sana?"
Ronan kembali berpikir keras. Seingatnya, Oce akrab dengan seluruh anak kosan yang lain. Ia tidak tau mana yang paling dekat dan paling sering Oce ajak ke luar.
Selain itu, Oce tidak akan ke luar jika tidak ada orang lain yang mengajaknya. Mungkin-mungkin hanya sekedar singgah sebentar di cafe itu setelah pulang kuliah. Jika tidak ada kegiatan di luar, Oce juga tidak akan mampir ke cafe itu.
"Apa Anda orang tuanya?"
Ronan menoleh, ia menggeleng, "Saya pemilik kosan. Sedangkan Papa-nya sudah saya telepon dan sudah datang kemarin malam."
"Pak, Saya benar-benar ingin tim Anda menyelidikinya dengan benar. Karena korban adalah putri satu-satunya dari Ferdy Ren Athanashio." Ronan berbisik penuh makna.
Polisi tersebut sedikit menampilkan mimik wajah terkejut.
"Kami berjanji akan segera menemukan pelakunya dan tidak menganggap kecelakaan ini merupakan masalah sepele. Dan kami berjanji, akan menemukan pelakunya malam ini juga. Selain itu, apa boleh kami menginterogasi anak kosan yang lain?" Polisi tersebut berbicara dengan tegas.
"Silahkan." Ronan memberi gestur mempersilahkan dengan senyuman lebar.
"Kami hanya butuh jawaban dari Ibu." Polisi itu membuka halaman terakhir di kertas yang ia pegang.
Ronan mengangguk setuju. Mengambil kertas yang di sodorkan polisi itu. Juga menerima bolpoin. Ia menulis sesuai instruksi-nya.
"Tolong, tuliskan setiap nama anak kosan Anda di kertas ini. Catat semua yang Anda ketahui seberapa dekat orang tersebut dengan sang korban," tutur Polisi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah BuRonan (Republish)
Fiksi Penggemar⚠️Warning!⚠️ (Pertama kali buat story. Bahasa super duper berantakan. Ditambah lagi alur macem sinetron^^) Menceritakan seorang Tyan yang kesulitan mengatur adik tingkatnya untuk belajar disiplin di kos-an BuRonan. Sebagai pemuda berjiwa teguh memeg...