Bab 5

1.2K 220 24
                                    

Oce membuka matanya pelan. Kemudian merintih pelan saat merasakan sakit di bagian telapak kaki. Telapak kakinya terasa dingin namun perih. Perempuan itu menoleh ke bawah dan melihat Tyan yang sibuk mengobati luka-nya.

Oce mendesah pelan. Ia mengalihkan pandangan menatap jendela kamarnya yang masih dalam keadaan gorden tertutup. Hatinya masih merasa bersalah, namun di lain sisi dirinya juga tidak mau hal seperti kemarin terulang terus-menerus.

Tak.

Tyan menutup kotak P3K lalu berbalik ke arah pintu. Oce merasakan telapak kakinya telah terlilit perban. Ia buru-buru bangkit dari tidurnya dan melenguh dengan spontan karena badannya terasa begitu sakit di setiap sendi.

"Bang ..."

Tyan menghentikan langkahnya namun tidak berbalik. Oce sedikit menundukkan kepalanya. Perempuan itu menarik kaos belakang yang Tyan kenakan, menyuruhnya agar tidak pergi dari sini dan meninggalkan dirinya sendirian.

"Maaf. Maaf. Gue juga nggak pengen kayak gini. Tapi ada suatu hal yang nuntut gue buat kayak gini." Oce berujar lirih.

Tyan menghela nafas kasar. Lelaki itu enggan membalikkan badan.

"Apa yang buat lo selalu pulang malem?"

Oce bungkam. Dia tidak tau harus menjelaskan bagaimana. Semua orang kosan tidak tau seluk beluk keluarganya. Dia adalah sosok yang introvert di antara yang lain. Terutama pada urusan keluarga.

Tyan kembali menghela nafas kasar. Ia kembali melanjutkan langkahnya, tidak peduli jika tangan Oce masih memegang kaos belakang yang ia kenakan. 

"Lo selalu nggak punya jawaban dengan pertanyaan yang sama."

Oce semakin menarik kaos Tyan dengan kuat. Perempuan itu kembali menangis padahal bekas air mata kemarin masih membuat matanya bengkak. Ditambah kurang tidur serta hujan-hujanan kemarin membuat tubuhnya sedikit demam.

"Jangan marah. Jangan pergi Bang," Oce memohon pelan.

Tyan memutuskan berbalik. Lelaki itu tetap menatap Oce dengan pandangan dingin. Oce tidak berani menatap balik dan tetap menundukkan kepalanya. Tangan yang semula memegang kaos belakang Tyan kini berpindah menjadi bagian depan.

"Udah jam tujuh. Perut lo perlu di isi."

Tyan melepaskan tangan Oce yang memegang kaos depannya. Lelaki itu kembali berbalik dan seperti semula, Oce menghentikannya lagi. Oce semakin terisak.

"Maaf ... gue minta maaf ..."

"Gue nggak butuh maaf lo. Gue sama yang lain cuma butuh alasan di balik lo yang selalu pulang malem dan selalu bawa luka saat pulang ke kosan!" Tyan menyahut cepat.

Oce tetap sibuk dengan tangisannya. Tyan menghentikan langkahnya dengan badan menghadap pintu, seperti tadi, tangan Oce menarik belakang kaosnya. Tyan menundukkan kepala.

"Lepasin." Tyan berseru pelan. Oce tetap enggan melepaskan tarikannya.

"Ce ..."

"Kaki gue sakit dipake jalan." Oce membalas sembari menatap punggung tegap Tyan.

Tyan menghembuskan nafasnya kasar. Ia berbalik menghadap Oce. Oce mendongakkan kepala menatap lelaki di depannya. Tyan menatap tajam mata perempuan itu.

"Itu salah lo sendiri. Lo yang bawa luka itu." Tyan berseru tajam.

Tyan menarik salah satu tangan Oce hingga berdiri dengan lemas. Oce berdiri dengan memegang kedua bahu lelaki itu. Tyan yang baru sadar jika tubuh Oce terasa panas segera menatapnya. Ia juga baru sadar jika pakaian yang dipakai Oce masih sama dengan pakaian yang digunakan saat perempuan itu baru pulang ke kosan.

Rumah BuRonan (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang