Bab 23

816 198 23
                                    

"Nih!" Sonar memberikan kresek berwarna putih berisi apel hijau kepada Oce.

"Makasih. Nanti Oce ganti pas ke sini Mbak. Sama minumannya ya." Oce menerimanya dengan senang.

"Nggak usah. Gue abis gajian." Sonar menggelengkan kepalanya.

"Tapi ini banyak lho Mbak. Ampe tiga ratus ribu." Oce merasa tidak enak hati sambil menunjuk seluruh belanjaannya yang kini dibantu oleh Joni untuk membawanya masuk ke kosan B. Sebenarnya itu kebutuhan seluruh anggota kosan B selama sebulan. Dan untungnya semula Sonar mau meminjaminya dulu, tapi sekarang malah gratis.

"Aelah, kayak sama siapa aja lo. Sana balik, si piranha udah lapar." Sonar segera mendorong Oce untuk berbalik.

"Ya tapi Mbak, gue–"

"Gaji gue tripppppel! Udah ah! Nggak usah nggak enak nggak enakan!" Sonar berbalik menuju gerbang, menggerakkan tangannya agar Oce segera balik.

"Makasih ya Mbak! Besok gue traktir di mekdi pas pulang ngampus deh!" Oce berteriak agar Sonar mendengarnya.

"Itu bocah, nggak pernah berubah ya." Sonar bergumam sembari tersenyum tipis. Apalagi Oce adalah adik cewek yang paling dekat dengan dirinya.

Sonar berbalik menuju pintu kosannya. Sampainya disana, ia langsung disuguhkan Yuta yang duduj di sofa lantai satu. Sonar berjalan kearah lelaki itu dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Ia mengambil posisi duduk di sofa yang bersebrangan dengan Yuta.

"Mau sampe kapan lo kayak gini?" Sonar bertanya.

Yuta menghela nafas. Memalingkan wajahnya. Ia juga tidak tau harus bagaimana lagi. Ingin mempertahankan pun ia tidak akan bisa. Hanya Tyan lebih baik daripada dirinya.

"Gue lepasin dia." Yuta berujar lirih.

Sonar menghela nafas. "Huft! Jangan terlalu terpuruk deh. Gue kasian liat lo. Nggak mau gue punya hati nurani sama orang yang nggak punya sopan santun ke orang yang lebih tua, macem gue nih." Sonar menjawab asal.

Yuta terkekeh pelan. "Tau aja kalo lo udah tua."

"Apa?? Yaelah, jangan ngejek gue ya! Gini-gini gue banyak pengalaman soal cinta. Dih! Lo baru gitu aja dah mo nangis!" Sonar mengibaskan tangannya di udara.

"Lo nggak tau." Yuta mengusak rambutnya kasar.

"Gue lepasin dia karena terpaksa. Bukan karena keinginan gue sendiri." Ia berujar penuh keputusasaan.

"Nggak mau tarung secara sehat aja sama Tyan?" Sonar kembali mengambil kacang telur di toples. Memakannya dengan santai. Walaupun otaknya ikut bekerja agar sepupunya itu tidak semakin terpuruk karena cintanya bertepuk sebelah tangan.

"Gue nggak bisa! Ada yang buat gue takut buat jalaninya." Yuta menerawang. Entah kenapa ia ingin menceritakan semuanya kepada Sonar yang notabenya merupakan sepupunya.

"Paan?" Sonar bertanya dengan heran. Pasalnya ia tidak pernah melihat Yuta sefrustasi ini.

Yuta melirik Sonar sekilas dengan pandangan ragu. Kemudian menempelkan punggungnya dengan sofa. Bermacam spekulasi serta kejadian di masa lalu membuat kepalanya pusing bukan kepalang.

"Nar, gue pernah bunuh orang." Ucapnya lirih.

Tak!

Sonar membanting toples dari kaca itu ke meja karena sangking kaget dan tidak percayanya atas apa yang diucapkan oleh Yuta. Matanya melebar menatap Yuta dengan pandangan bertanya apakah yang diucapkan lelaki itu benar.

Yuta mengangguk pelan sebagai jawabannya. Ia turut menampilkan raut wajah muram.

"Siapa yang lo bunuh?" Sonar bertanya dengan serius.

Rumah BuRonan (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang