Bab 15

1K 200 18
                                    

"Duduk aja. Gue yang pesen."

Oce mengangguk. Menatap sekelilingnya, mayoritas semua orang Oce kenal. Namun entah mereka sama kenalnya tidak dengan dirinya.

"Makan nasi dulu, baru gue bolehin makan mie." Tyan berujar sebelum pergi.

Oce terlihat berpikir sebentar. Kemudian mengangguk dengan semangat. Apalagi makanannya gratis lagi.

"Nasi goreng aja, sama mie pedes ya?"

Oce tambah semangat. Pasalnya Tyan selalu melarangnya untuk makan mie pedas karena nanti hari selanjutnya pasti sakit perut.

Oce membuka ponselnya saat Tyan meninggalkannya untuk memesan makanan. Perempuan itu tidak tau saja jika bisikan para netizen telah berkumandang. Datang di setiap langkahmu dan mengganggu konsentrasimu.

Lama fokus pada ponselnya, Oce sampai tidak sadar saat datang dua orang perempuan dari arah seberangnya. Perempuan itu baru mengalihkan pandangan saat suara yang terasa familiar memanggilnya.

"Mbak Chesil?" Oce mengalihkan pandangan ke samping Chesil, perempuan dengan paras dingin sedang menatapnya sekarang.

Chesil tersenyum lebar. "Iya. Kenalin, ini Leya."

Oce tersenyum canggung. "Oce Kak."

Namun ucapannya tidak digubris sama sekali. Perempuan yang diketahui bernama Leya langsung duduk begitu saja di bangku depan dimana dirinya duduk semula.

Chesil mengulas senyum tidak enak kepada Oce. Oce memberi isyarat seolah-olah itu bukan masalah besar.

"Boleh gue duduk disini?" Chesil bertanya dengan ramah.

Telat. Si Leya juga udah duduk tanpa permisi. Namun Oce memilih tetap menjawab dengan anggukan kepala.

"Boleh kok."

Oce duduk di depan mereka berdua. Leya fokus pada ponselnya. Sedangkan Chesil masih menunjukkan keramahannya.

"Ada apa Mbak?"

Oce sebenarnya tidak ingin pede jika saja Leya tidak menunjukkan sikap sarkasnya saat pertama kali bertemu dengannya. Ia kenal Leya? Tidak. Leya berjuruan hukum sama seperti Chesil. Dan Oce baru kali ini punya kenalan orang sana. Ya cuma Chesil aja, terus disusul sama Leya.

Chesil menaruh tas di sampingnya dengan tenang dulu sebelum melanjutkan ucapannya.

"Eee..lo sama Tyan..sodara?"

Oce menggeleng. "Bukan. Bang Iyan itu satu kosan sama gue."

"Ouh..gue kira sodaraan. Abis, kalian deket banget deh." Chesil meminum teh kotak di tangannya.

Oce menggaruk tengkuknya canggung. "Gitu ya? Padahal Bang Iyan itu deket sama semua anggota kosan."

"Iya, tapi lo itu lebih satu langkah di depan mereka." Leya menyahut.

Oce sedikit melunturkan senyumnya. Ia sebenarnya tidak suka berbicara dengan orang baru apalagi seperti Leya. Suka memojokkannya padahal tidak tau apa-apa. Mereka menyimpulkan sesuai kemauan sendiri. Padahal Oce merasa tidak seperti itu.

"Sering diantar jemput, sering makan bareng di Fakultas Kedokteran yang enggak satu bangunan sama jurusannya. Itu cuma deket biasa? Yakin??"

Senyum Oce langsung hilang. Perempuan itu hanya dilanda dengan canggung. Tidak tau harus membalas apa karena semua yang dikatakan oleh Leya adalah sebuah kenyataan.

"Hahaha. Maafin ya dek, Leya emang suka nyerocos." Chesil tertawa. Apa maksudnya itu? Dia tertawa seakan-akan puas dengan pertanyaan pedas yang dilontarkan oleh Leya. Walaupun tidak langsung, namun Oce tau maksud dari perempuan yang bernama Leya.

Rumah BuRonan (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang