Pukul setengah tujuh malam, Ditto tiba di Jakarta—apartemen Elysia lebih tepatnya. Dia langsung memasuki lobi apartemen usai memarkirkan mobil dan disambut Elysia yang ditemani koper-koper besar.
“Elysia,” panggil Ditto. “Kamu ngapain bawa koper segini banyak?”
“Ini koper kamu, karena kata Tante Mia kamu belum packing jadi aku beresin baju dan bawaan kamu buat seminggu ke depan.” Elysia tersenyum manis lalu mengaitikan tangannya ke lengan kanan Ditto. “Warna bajunya agak cerah dari biasanya, maaf ya. Aku suka sih kamu pakai baju warna gelap tapi aura kamu ketutupan dan jadi terkesan suram gitu.”
Ditto tercengang dulu sebentar, berbeda dengan Elysia yang tampak sumringah menjelaskan. Lebih syok ketika perempuan itu bilang, “Sayang, mau tau sesuatu gak?”
“Apa?”
Sambil mengulum senyum penuh antusias, Elysia melanjutkan, “Aku ikut flight juga malem ini hehe.”
Itu handphone yang lagi dipegang Ditto hampir jatuh. “Becanda kamu?”
“Beneran dong, aku mau anter kamu sampai ke hotel terus besoknya kita ke rumah Ibu kalau kamu gak ada jadwal meeting atau urusan kerjaan.”
“Elysia, aku ke sana buat kerja bukan main-main.”
“Aku taauu, Sayang. Makanya aku gak akan ganggu kamu selagi kamu kerja nanti,” ujar Elysia pelan lalu membelai wajah Ditto lembut. “You look tired, kamu begadang lagi ya semalam?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Elysia.” Ditto menurunkan tangan Elysia, gak kasar namun Elysia tau lelaki itu marah. “Kenapa kamu seenaknya mutusin semuanya? Memang gak bisa tanya dulu ke aku?”
“Kamu pasti nolak kalo aku kasih tau lebih awal, aku gak punya pilihan lain.”
“Kamu punya,” ucap Ditto dingin. “Kamu punya dan bisa mencoba tapi kamu gak mau.”
Elysia terdiam dibuatnya. Air mata sudah mengambang di pelupuk mata cokelat terang perempuan itu. Sekali lagi Ditto berkata, mungkin tumpah ruah.
Dia benar-benar gak mengerti. Ini hanya soal Elysia minta ikut ke Solo. Dia bayar sendiri dan gak sekamar sama Ditto, dia juga sudah berjanji gak akan mengusik ketika lelaki itu tengah bekerja. Seakan yang Elysia perbuat tidak bisa dimaafkan.
“Ditto,” ucap Elysia bergetar. Tangannya meraih kedua tangan tunangannya itu. “Aku bikin salah sebesar apa sih sampai kamu seenggak suka ini sama aku?”
Ditto terpekur mendengar tanya sendu Elysia. Iya, Elysia buat salah sebesar apa padanya?
“Aku cuma mau ikut, nemenin kamu dan mastiin kamu baik-baik aja di Solo. Kenapa kamu ngomelin aku kaya aku bikin salah yang fatal?”
Elysia hanya mau berbuat baik padanya, menunjukkan perhatian sebagai sosok perempuan pendamping yang baik.
“Kamu bilang aku punya pilihan tapi aku gak mau coba,” ucap perempuan semampai itu lagi. “Aku udah coba dan hasilnya seperti ini. Ini pilihan aku. Sekarang aku tanya sama kamu, kamu juga punya pilihan tapi kamu gak pernah mau mencobanya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A 2.0 | ✔
RomanceSegala hal di dunia hanya sekali, setidaknya. Sekali hidup, sekali mati. Namun, ada juga hal yang terjadi beberapa kali seperti banjir di ibu kota atau demo akibat pendapat yang selalu diajukan tak kunjung menjadi nyata. Perihal perasaan, misal. Ba...