Pukul setengah tiga pagi, Nayla bangun atau lebih tepatnya turun dari ranjangnya. Sebab sejak semalam, dia sama sekali tidak terlelap. Kepalanya sibuk mengawang pada catatan di sticky notes, Elang, dan rencana kepulangannya.
Ada sedu yang ramai tanpa bisa disedankan.
Pelan-pelan, dia memasukkan barang bawaan dan mengenakan baju seadanya, tentu dengan masker, topi serta kacamata sebagai pendukung penyamaran. Kacaunya Nayla cukup dirinya sendiri yang rasa, orang lain tidak perlu lihat.
Koper dan tas yang berat dia tenteng sekuat tenaga, demi tidak tercipta suara tak perlu sehingga membangunkan Rahma atau Thala. Namun, memang ada saja jalannya.
“Nayla?”
Belum juga usai dia menutup pintu, seseorang memanggil namanya. Apa semudah itu mengenalinya setelah penyamaran sedemikian rupa?
“Eh, salah ya? Duh, maafin saya, Mbak. Saya kira temen saya.”
Nayla mengangguk patah-patah lalu menghadap pemanggil namanya barusan. Tangannya langsung menutup mulut yang terbungkus masker, dia terkejut.
“Ditto?!”
“Wow, beneran lo ternyata ya, Nay ....”
Kalau Nayla bisa menghilang, dia pasti sudah lakukan.
“Lo ngapain di Solo? Ada project atau apa?” tanya Ditto masih kaget, tebakannya benar. Dia kira salah, karena matanya belum terbuka sempurna. “Sorry, banyak banget pertanyaannya. It's okay kalau lo gak mau jawab.”
“Enggak, gue gak apa-apa.” Mata Nayla bergerak ke sana-ke mari, panik. “Tapi, bisa gak kita ngomongnya di tempat lain aja?”
“Oh? Oke, boleh. Tapi kayaknya belum ada food court atau tempat yang buka.” Dengan canggung Ditto menggaruk kepalanya yang tertunduk. “Kita bisa ngobrol di kamar gue, if you dont mind.”
“Hng, kamar lo lantai berapa?”
“Paling atas, gak apa-apa?”
Berbahaya memang, hanya saja Nayla tidak punya pilihan lain. Ketimbang tertangkap basah oleh teman-temannya atau Elang dan Brian, lebih baik dia ikut bersama Ditto. Maka akhirnya dia berkata, “Okay.”
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A 2.0 | ✔
RomanceSegala hal di dunia hanya sekali, setidaknya. Sekali hidup, sekali mati. Namun, ada juga hal yang terjadi beberapa kali seperti banjir di ibu kota atau demo akibat pendapat yang selalu diajukan tak kunjung menjadi nyata. Perihal perasaan, misal. Ba...