“Lo tau, Nay? Gue paling gak suka sama anak kecil. Mau itu keponakan gue, anak guru gue, atau anak kecil yang lucu sekalipun. Gue gak pernah menyukai mereka.” Divya berkisah cukup sendu, seiring tatapan netra cokelatnya yang terarah tetap kepada Rona. “Gue sampai bilang gak mau punya anak atau kalau memang bisa, gue mau adopsi aja pas udah usia SD. Karena gue gak suka repot dan berisiknya ngurus anak kecil.
“But then again, God must be hate me that much. Terlalu benci hingga gue dikasih balasan atas kebencian gue itu.” Nayla tahu, apa yang Divya maksud dalam kisahnya. “Dia kasih gue Rona di saat yang sama sekali gak tepat dan saat gue sama sekali gak siap buat memilikinya.”
Perempuan cantik itu meraih satu bingkai foto yang terbalik di atas nakas dekat sofa tempat mereka duduk. Sewaktu dibuka, menampilkan dua potret lampau sepasang insan muda-mudi dengan senyum terkembang berlatar lampion berderet khas perayaan imlek. Foto itu, foto Paduka dengan Divya 5 tahun lalu.
Waktu mereka masih bersama, waktu semuanya masih baik-baik saja.
“Paduka pasti kaget dan mungkin, dia gak percaya kalau Rona ... anaknya. Gue ngerti sih. Setelah gue pergi begitu aja, tanpa pamit atau kabar lebih dulu, dia pasti punya banyak pertanyaan dan kebencian buat gue. Jadi, gue gak bisa memaksa dia memahami gue dengan cepat.”
Nayla hanya diam, menyimak semua kata dan frasa yang Divya tuturkan sembari melirik perutnya yang masih rata dengan perasaan campur aduk. Pikiran-pikiran liar berisi kemungkinan buruk tentang janin yang dikandungnya menelusup. Pelan tetapi pasti, membawa Nayla ke dalam rasa takut yang belum pernah dia rasa.
“Tapi, jujur ya, Nay. Gak ada satu kalipun dalam hidup, gue menyesal punya Rona.”
“Kenapa?”
“Gak tahu pastinya kenapa, cuma mungkin ... setelah gue tahu rasanya jadi seorang ibu, dan gimana perjuangannya membesarkan Rona dengan semua hal yang harus gue urus sendiri ... gue bersyukur banget Rona hadir buat gue selama ini.” Senyum bahagia di wajah menawan Divya sejalan dengan perkataannya.
“Walau lo mesti kesusahan karena dia? Walau tanpa Paduka atau keluarga lo?”
“Iya, Nay.” Lagi-lagi Divya tersenyum bahagia, membuat Nayla merasa tersindir karena masih tidak dapat menerima anak yang ada dalam rahimnya kini. “Gue bahagia punya Rona, Nay. Gue bahagia lihat dia ada sama-sama gue terus dan bisa jadi ibunya. Gue tau resiko yang akan gue terima banyak banget, tapi sekali pun gue gak pernah menyesal for being her mother.”
Kata-kata Divya kembali memukulnya keras. Divya yang dulu membenci anak-anak—bahkan keponakan dan sepupunya—bisa menerima anak kandungnya sendiri, hasil dari perbuatan ceroboh antara dirinya dengan Paduka. Semua terlihat tulus dan hangat di mata Nayla sampai-sampai air mata hampir luruh keluar bersama emosinya yang membuncah.
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A 2.0 | ✔
RomanceSegala hal di dunia hanya sekali, setidaknya. Sekali hidup, sekali mati. Namun, ada juga hal yang terjadi beberapa kali seperti banjir di ibu kota atau demo akibat pendapat yang selalu diajukan tak kunjung menjadi nyata. Perihal perasaan, misal. Ba...