“Everyone hate lies and all with in it.
Once they didn’t know about.
That lies was made from secret and the untold truth.
And the irony is ... everyone has their secret and their untold truth.”
— The ingredients of Lies.
“Lah ... Nayla?”
“Eh ....”
Rahma mendongak demi melihat orang yang Brian panggil Nayla. Demi Waktu, itu betulan Nayla. Orang yang keluar dari kamar bersama Ditto ... adalah Nayla Fahira.
“Nayla, lo kok ... Ditto ... kalian?”
Jujur, ini sangat mendadak. Dalam dugaannya, Rahma tidak memasukkan nama Ditto. Namun lihat, keduanya keluar dari sebuah kamar bersamaan dalam keadaan yang bisa dibilang kurang baik. Pakaian Nayla sudah terganti menjadi kemeja yang kebesaran dan rambutnya tak teratur.
Sementara Brian yang sama bingungnya dengan Rahma, cukup ambil bagian mengamati. Nayla saja dia belum kenal banget, sudah muncul orang lain lagi. Pasti dari potret kejutan ini, laki-laki bernama Ditto tidak diduga keberadaannya sehingga Rahma terlihat terkejut sekali.
“Hai, Ra.” Tampak tenang, Ditto menyapa Rahma dan melakukan gerakan menutupi Nayla tanpa kentara. “Lo nginep di lantai ini juga?”
Tidak menjawab, Rahma malah menatap Nayla penuh tanya dan maksud. Nayla yang ditatap juga tidak memberikan respon apa-apa selain menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.
“Tadi pagi Nayla mau masuk kamarnya terus gak bawa kartu dan ketemu gue, jadi yaa gue ajak ngobrol aja di unit gue.”
Bagus sekali, Ditto. Alibimu berhasil meratakan sebaian besar asumsi negatif di kepala Rahma dan Brian dalam sekejap. Memang cocok jadi petinggi perusahaan.
“Lo bilang lo mau pulang tadi pagi, Nay.”
Ditegur begitu oleh Rahma, Nayla gelagapan. “Gue ngerasa—gue ngerasa gak pantes ninggalin kalian berdua tanpa pamitan secara proper. Maaf ya.”
Benar juga, pikir Rahma. Seperti yang Thala bilang sebelumnya, Nayla bukan tipe orang asal pergi tanpa pamitan baik-baik. Dipikir lagi, jawaban Ditto juga meyakinkan. Tidak ada yang harus dicurigai selain ketepatan dia dan Brian melihat Nayla dan Ditto keluar dari kamar yang sama.
“Lo ... nyariin gue?” tanya Nayla takut-takut.
“Eng—”
“Iya, Nay.” Diselak, Brian mendahului penolakan Rahma. “Rahma, Thala, Elang, sama gue nyariin lo dari pagi karena lo gak pamitan.”
Mata kecokelatan Nayla bergulir, memandang Rahma yang kini menunduk entah kenapa. Mungkin malu, mungkin takut.
“Iya, Ra?”
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A 2.0 | ✔
RomanceSegala hal di dunia hanya sekali, setidaknya. Sekali hidup, sekali mati. Namun, ada juga hal yang terjadi beberapa kali seperti banjir di ibu kota atau demo akibat pendapat yang selalu diajukan tak kunjung menjadi nyata. Perihal perasaan, misal. Ba...