#Rasa 23 : Janji

140 22 12
                                    

N A Y L A

Pada akhirnya, gue pulang dari rumah sakit sama Brian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada akhirnya, gue pulang dari rumah sakit sama Brian. Iya, Brian si fotografer yang pernah nemenin Rahma di Solo waktu itu. Gak enak dia udah nawarin dan ngasih tisu ke gue tadi. Kesan pertama tentang dia adalah : Looks like he used to treating girl, terutama perempuan yang terlihat penuh masalah kehidupan macam gue ini.

Terlepas dari semua itu, gue harus akui Brian baik banget. Dia membukakan pintu mobil—yang baru dipinjamnya tadi karena kata dia gak mau ngajak gue naik motor—untuk gue, tanpa rayuan atau gombalan remeh. Dia juga gak pernah melakukan sesuatu tanpa bertanya dulu kepada gue padahal hal itu gak berhubungan langsung sama gue kaya nyalain lagu di pemutar musik mobilnya. Tapi, dari sekian perlakuan baiknya, gue paling menghargai cara Brian menjaga suasana hati gue.

Selama di mobilnya, gak sekalipun dia menyinggung alasan gue menangis di depannya atau memberi wejangan kalau semua masalah itu gak sepatutnya ditangisi seperti orang-orang kebanyakan. Jadi, gue sedikit banyak paham alasan Rahma kelihatan begitu nyaman di dekat Brian.

Brian mengerti gimana caranya menghargai orang lewat memahami kondisinya lebih dulu, yang mana sangat amat dekat dengan kepribadian Rahma.

“Lo mau turun di mana?” tanyanya.

“Kata lo mau anter gue pulang?” balas gue bingung.

Dan dia malah ketawa. “Enggak, kali aja lo mau turun di mana gitu.”

“Hng, yaudah turunin gue di deket sini aja.”

“Oke.”

“Lo ... gak penasaran soal itu?”

“Penasaran,” jawabnya lurus. “Tapi, itu privasi lo. Gue kan cuma orang asing, hak lo untuk ngasih tau gue atau simpan sendiri.”

Lihat? Apa kata gue barusan, paham banget kan dia.

“Soal tadi, gue minta maaf karena bersikap kurang sopan.” Gue diam mendengarkan Brian bicara. Suaranya gak dibuat-buat dan seratus persen gue yakin dia memang merasa demikian. “Maaf kalau lo ngerasa terganggu karena sikap gue tadi.”

“Hm,” gumam gue. “Gak usah minta maaf, Bri. Gue memang cukup terganggu, tapi gak sampai mau mukul lo kok jadi it’s okay.”

Brian ketawa lagi. Lama-lama kayaknya gue malah hapal sama suara ketawanya dan lupa sama berita duka yang gue dengar tadi di rumah sakit.

“Udah sampai,” katanya sambil menatap gue diselipi senyum di wajah. “Mau gue anter sampe depan?”

Gue kontan menggeleng dan menyilangkan tangan ke depan dada. “Gak perlu, sampai sini udah cukup.”

“Oke kalo gitu.”

Anyway,” ucap gue. “Makasih ya, Brian.”

“Sama-sam—”

S E N A N D I K A  2.0 | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang