“Titip Nayla.” Ditto berkata demikian ketika obrolan serius antara dirinya dengan Nayla usai. “Kalau ada apa-apa, tolong kabari gue.”
Alis Divya terangkat sebelah. “Why me? Lo gak punya kontak Nayla emangnya?”
“Ada,” jawab laki-laki itu agak memelan sembari melirik lantai atas apartemen sekilas. “Gue gak bisa kontak dia.”
“Ooh, maksudnya lo mau lari sesaat?”
Dia lekas merentangkan tangan, menolak tuduhan Divya. “Gak gitu konteksnya, Divya. Gue udah bilang bakal tanggung jawab, jauh sebelum ini terjadi ke Nayla.”
“Terus?”
“Kayaknya, dia butuh waktu sendiri dulu supaya bisa ngerti kondisinya yang sekarang berbeda dari sebelumnya dan memahami semuanya pelan-pelan.” Ditto menghela napas cukup dalam. “Gue gak akan ke mana-mana, tapi bukan berarti gue harus terus stick in sama Nayla. Kaya yang gue bilang barusan, dia butuh memahami semua dulu pelan-pelan. Tanpa campur tangan gue atau siapa pun yang berpotensi bikin dia stres.”
Wow, Divya hampir bertepuk tangan atas sikap penuh pengertian Ditto terhadap sahabatnya. Sebab dulu, dirinya dan Paduka tidak begini. Boro-boro mau begini, keduanya keburu hempas dilebur amarah.
“I care for her, seriously. But she need to spend her time alone, Divya.”
“Iye-iye. Yaudeh, gue sama Rahma bakal kabarin kalo ada apa-apa.” Telunjuk lentik Divya teracung ke hadapan Ditto. Matanya juga melotot mengancam. “Tapi inget, sekali lo macem-macem mau ninggalin Nayla, habis lo sama gue.”
“Don’t worry, itu gak akan pernah terjadi.” Ditto merapikan dasinya sejenak lalu menatap Rahma yang baru keluar dari pintu apartemen. “Hai, Ra.”
“Tuh, baru juga gue bilangin!” omel Divya.
“Demi, gue cuman nyapa dia??”
“It’s prohibitted, darling.” Divya menampar pipi Ditto pelan, matanya kini menatap Rahma. “He? Mau ke mana lo?”
“Ada panggilan dari Teo, katanya gue diminta ke Frasa Karsa.” Rahma terlihat buru-buru, saking fokusnya merapikan isi tas sampai gak sadar rambutnya berantakan dan berakhir tersangkut di sleting tas. “Aw!”
“Kenape?”
“Gak tau,” sahut Rahma meringis. “Kayaknya rambut gue nyangkut deh di tas, aduh.”
Divya memutar bola matanya, lelah. “Sumpeh, udah mau seperempat abad dan lo masih bisa nyangkutin rambut ke tas? Very impressive, Rahma Nabillah.”
“Gak sengaja!” bela Rahma tak terima. “Eh, hai, Dit. Sorry gue gak fokus tadi jadi gak engeh lo di sini.”
Sabar, Ditto. Sudah terbiasa dicuekin dan dianggap gak ada sama Ashita dulu jadi dia gak ambil pusing dengan pernyataan pedih Rahma barusan.
“Heh, ini kok susah deh?”
“Duuh, gimana dong? Teo udah nelponin gue terus,” keluh Rahma panik. “Potong aja deh potong!”
“Beneran? Banyak loh ini, kalo dipotong bisa pitak sebelah lo!”
Melototlah Rahma, kaget sekali. Tidak, mana mungkin akan berakhir pitak hanya karena rambut tersangkut di tas? Sungguh tidak lucu dan tidak etis.
“Terus gimana??”
“Ya mana gue tau?? Gue bukan master pelerai rambut nyangkut!” seloroh Divya heboh. “Atau gak, keramas aja deh keramas. Biar rambut lo gampang dilepas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A 2.0 | ✔
RomanceSegala hal di dunia hanya sekali, setidaknya. Sekali hidup, sekali mati. Namun, ada juga hal yang terjadi beberapa kali seperti banjir di ibu kota atau demo akibat pendapat yang selalu diajukan tak kunjung menjadi nyata. Perihal perasaan, misal. Ba...