#Rasa 34 : Jeda dan Lega

229 29 10
                                    

Kondisi Rahma dan Elang membaik kian hari, walau jelas rasa takut akan bayang-bayang kecelakaan malam itu masih mencekam mereka. Baik Rahma atau Elang sama-sama belum saling mengunjungi. Keluarga Rahma tidak menyalahkan Elang atas tragedi yang menimpa putri mereka, namun jelas lelaki itu belum punya nyali berdamai dengan sanggahan orang-orang.

Ada banyak yang harus disesuaikan dan dibenahi, fisik serta mental. Karena katanya, untuk menjadi kuat dimulai dari diri sendiri.

Both of them need some private time.” Divya berkata demikian di tengah menuruni tangga rumah Rahma. Rona yang lelap tertidur di gendongan Paduka ia cek berkala. “It’s a horrible accident, gak ada yang jamin mereka gak tewas setelah mengalaminya. Masih inget banget ya gue, Rahma sempet ga sadar beberapa hari dan waktu bangun langsung nangis kejer gak karuan.”

Thala dan Ody yang turut datang bersama Divya mengamini lewat anggukan singkat. Terbayang lagi momen paling menyedihkan bagi mereka ketika melihat Rahma. Pasalnya, selepas putus dari Dean pun air mata dan kondisi Rahma tidak separah itu. Seakan ada yang hilang darinya, entah apa tapi jelas tidak bisa kembali.

“Terus Elang gimana, Paduka?” tanya Ody mengganti objek pembicaraan. “Ashita gak bisa ngontak dia sama sekali dan pas disamperin ke apartemennya, udah gak ada siapa-siapa.”

Yang ditanya kaget, kakinya kepeleset. Untung refleksnya bagus, kalau enggak sudah pasti dirinya bonus Rona terguling bersama ke bawah sana. Sesungguhnya efek dipelototi seorang ibu memang dahsyat.

“Nih, kalo gua jawab gak tau bakal ditakol sepatu kaga?” sahut Paduka mencoba melawak.

“Enggak, paling gue lempar pake sutil serenceng.”

“Yeu, sama aja dong anjim!” lalu dia meringis, akibat dipukul bibirnya oleh Divya. “DIH, APAAN SIH?!”

“Mulut lo! Udah tau lagi sama Rona, seenaknya aja ngomong—”

Omelan Divya terhenti oleh rengekan Rona yang terbangun. Gadis kecil itu langsung menangis kencang waktu dilihatnya wajah Paduka masih melotot kesakitan, horor mungkin ya.

“Tuh kan dia jadi nangis! Elo sih ah!”

“LAH KOK JADI SALAH SAYA???”

“Emang salah lo! Kan yang teriak lo, yang melotot juga elo!”

“Ck, emang salah mulu gua di mata lu! Pindahlah besok ke idung lu biar ga salah lagi,” balas Paduka asal dan kembali mendapat doorprize berupa pukulan kencang di dadanya.

Daripada kita melihat keributan tiada akhir dua manusia itu, lebih baik kita naik ke lantai dua saja. Lebih tenang dan tentram. Tidak ada keributan atau keberisikan. Kenapa demikian? Hm, sebab tempat yang dimaksud adalah kamar Rahma.

Begitu pintu terbuka, alunan dentingan piano menyatu dengan petikan gitar akustik terdengar mengalun pelan. Menyiratkan sepi juga sedih yang nyata, seperti siluet seorang perempuan yang terlihat surreal. Orang itu Rahma Nabillah.

Ia tengah memainkan piano, agak tertatih tetapi tanpa henti. Memaksa jari jemarinya berusaha di luar kuasa demi menolak nalar. Walau pada akhirnya dia kalah, tidak bisa melawan takdir.

Karena itu, tangisnya kembali pecah. Wajahnya ditutup dua tangan yang masih memiliki luka lebam di sana-sini. Sia-sia saja, air mata itu tetap mengalir keluar sela ruas jari. Bahkan rapatnya tangan tidak mampu menahan luapan kesedihannya.

Beberapa notifikasi pesan masuk terlihat di layar ponsel pintar miliknya. Pesan itu dari Brian.

Brian :

Hai, Ra

Hm, gue mau ke rumah lo rencananya

Cumaa kalo lo lagi gak pengen ditemuin siapa-siapa, gak apa-apa

S E N A N D I K A  2.0 | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang