E L Y S I A
Satu-satunya orang yang paling gue cintai di dunia ini cuma gue seorang. Selalu begitu. Bahkan ibu atau bapak atau mungkin Mas Haru, gak bisa menandingi self love gue. Memang kedengeran egois, narsistik juga. But, who cares?
Setelah sekian lama menaruh tahta prioritas untuk diri gue sendiri, Tubagus Ditto datang tanpa tanda atau aba. Memasuki ruangan yang gue jaga dengan segenap asa juga raga. Dia sopan dan baik. Saking baiknya gue sampai gak sadar sudah jatuh dalam buaian rasa sayang yang semu.
“Kamu gak keberatan kita tunangan?”
“Kalau kamu mau, aku gak apa-apa.”
He always let me win. Selalu. Gue gak ingat berapa kali dia menang atas pendapatnya atau mungkin, sebenarnya Ditto gak pernah mengatakan apa yang dia mau ke gue selama kami bersama.
“Aku sayang banget sama kamu, To,” kata gue malam itu di hari anniversary enam bulan kami. Gue menatap Ditto yang tampak rapi meski hanya mengenakan kaos Polo dan celana pendek. “Aku mau terus sayang sama kamu kaya gini.”
“Boleh, kalau kamu mau.”
Tubagus Ditto yang gak pernah menyakiti gue atau melukai gue dengan semua perilaku juga perkataannya. Laki-laki yang selalu sabar dan memberikan gue kebebasan sampai bapak aja heran gimana dia mampu tahan sama gue.
Dan gue baru tau, kalau dia begini setelah patah hati hebat dari Ashita.
“Ditto benar-benar berubah setelah malam itu, Eya. Dia kaya orang lain, Tante sampai takut dia kenapa-kenapa.” Setahun tahun lalu Tante Mia berkata demikian, saat gue berkunjung ke rumahnya. “Tante gak pernah menyalahkan sikap atau keputusan Ashita atas Ditto karena itu perasaannya, haknya. Tapi, yang Ditto rasain saat harus melepas orang yang menurutnya paling tepat dan baik buat dia ... Tante gak bisa hanya diam melihat anak Tante satu-satunya hancur.”
“Aku gak paham deh, Tante. Ashita perasaan gak sehebat itu sampai bisa bikin Ditto patah hati begini.” Gue yang pongkah dan tinggi hati saat itu menolak kebenaran dari ketulusan hati seorang Ditto untuk Ashita. “Dan keluarganya juga gak lengkap. Maksudku, Ditto bakal lebih banyak berkorban kalau sama dia.”
“Ditto gak masalah dengan itu.” Tante Mia tersenyum waktu menjelaskan ke gue. “Ditto gak pernah merasa keberatan atau lelah kalau menyangkut orang yang dia sayang, Ya. Sekalipun dia harus babak belur dan gak tidur, atau dia harus kena detensi setelah negur rektor kampusnya. Selama orang yang dia sayang baik-baik aja dan senang, dia gak apa-apa.”
Tapi nyatanya, dia gak pernah melakukan itu demi dirinya. Dia begitu demi gue. He puts me as his priority, not because of his love. Rasa sayang yang tulus dari hatinya buat gue gak pernah ada. Cuma tanggung jawab dan demi menjaga hati gue supaya dia gak merasa bersalah kalau-kalau gue marah atau sedih karenanya.
Gue yang terlalu buta sama segala perhatian dan kerelaannya menuruti gue, menutup mata sama keadaan Ditto sesungguhnya. Jadi, gue sebenarnya gak berhak menyalahkan dia atau meminta dia tetap tinggal sama gue ketika selama ini dia menahan diri demi gak nyakitin gue bukan karena perasaannya untuk gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A 2.0 | ✔
RomanceSegala hal di dunia hanya sekali, setidaknya. Sekali hidup, sekali mati. Namun, ada juga hal yang terjadi beberapa kali seperti banjir di ibu kota atau demo akibat pendapat yang selalu diajukan tak kunjung menjadi nyata. Perihal perasaan, misal. Ba...