Life is unfair, indeed.
Berkali-kali Elang suarakan itu kepada dunia yang ia tinggali hampir tiga puluh tahun lamanya. Juga kepada Tuhan beserta jajaran malaikat yang menyembahnya. Atau kepada kerikil kecil di area pembangunan.
Elang percaya Tuhan. Ia punya agama dan walau seringkali alpa melaksanakannya, ada saat di mana tangisnya lebih besar daripada badai mana pun ketika berdialog intim kepada Tuhannya.
Namun, ia pun tak jarang mengomel perkara tujuan dirinya dibiarkan hidup seorang diri di dunia yang tidak adil ini. Kenapa? Apa alasannya? Katanya semua hal ada alasan dan kepentingan sendiri, lantas bagaimana dengannya?
Jarang dia rasa berguna hidup selama ini, kecuali waktu menghabiskan sedikit masa bersama orang-orang yang baik padanya dan tentu saja tidak banyak. Bisa dihitung jari. Itu juga kalau mereka menganggap Elang sama seperti Elang mengganggap mereka.
Hari ini menjadi salah satu hari paling membahagiakan untuknya, harusnya. Kapan lagi dirinya dapat berjalan-jalan asal bersama Rahma? Ditambah tidak perlu usaha banting tulang seperti yang sudah-sudah, Rahma langsung menyanggupi ajakannya. Sayang, petaka sepertinya kadung melacak bahagia Elang sejak ia ragu apakah harus menge-chat pujaan hatinya itu atau tidak.
“El, if you did well then no one can blame you. If they did, then they’re fucking liar,” kata Ashita kala bab skripsinya ditolak kesembilan kalinya oleh pembimbing padanya.
Rasanya dia ingin berteriak, lantas salah siapa Rahma terluka dan tak sadarkan diri di pelukannya sekarang? Kejadian naas hari ini salah siapa kalau bukan salahnya? Salah takdir? Atau salah Hujan yang turun tanpa izin?
Tidak bisa, ini salahnya. Sekali pun sudah berusaha sebaik yang ia bisa, tetap saja ini semua ... salahnya.
“Billah.”
Satu yang ia ucap sejak membuka mata setelah beberapa lama tak bisa menguasai kesadaran diri. Satu yang ia ucap sembari membawa Rahma dalam dekap di tengah guyuran hujan. Satu yang ia ucap diiringi getaran kalut juga tetes darah di sebagian besar tubuh tegapnya.
“Billah, maafin gua.”
Satu yang ia ucap, sebelum akhirnya kembali bertekuk lutut kepada kelamnya lelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
S E N A N D I K A 2.0 | ✔
RomanceSegala hal di dunia hanya sekali, setidaknya. Sekali hidup, sekali mati. Namun, ada juga hal yang terjadi beberapa kali seperti banjir di ibu kota atau demo akibat pendapat yang selalu diajukan tak kunjung menjadi nyata. Perihal perasaan, misal. Ba...