23. Sisi Lain

2.7K 478 71
                                    

"Tuan, Aden nggak mau buka pintu. Ini makanannya saya taruh disini ya," ucap seorang pelayan pada Alan yang tengah menyantap sarapan bersama Alin.

"Ck, tuh anak--"

"Ayah jangan marah-marah dong! Arkan itu anak Bunda juga, bukan anak Ayah doang," potong Alin pada Alan yang hendak mengomel.

"Yaudah Bi, taruh aja makanannya. Kebetulan masih lapar nih," ucap Alin pada pelayan lalu ia menarik nampan yang tersedia makanan untuk Arkan.

"Siapa tau Arkan lagi proses diet, bener nggak?" tanya Alin pada Alan.

"Bener banget! Ah Bunda pikirannya positif banget! Ayah jadi makin sayang. Tapi bisa aja Arkan gantung diri terus koid! Wah impresif!!!" Alan bertepuk tangan lalu pergi dari ruang makan meninggalkan Alin yang melongo.

"Impresif artinya apa ya..." gumam wanita yang lucu dan menggemaskan itu.

Tok! Tok! Tok!

"Arkan!!! Buka pintu!"

"Boy! Buka pintunya!"

"Waktunya sarapan!"

Alan berdecak, ia terpaksa membuka pintu menggunakan kunci cadangan yang memang tersedia jika hal-hal yang ia takutkan terjadi, Arkan koid misalnya. Tetap positif thingking ya.

"Arkan!" kaget Alan mendapati sang anak tergeletak di lantai.

"Arkan! Arkan! Bangun!"

"Hey!"

"Pak Aryo!!!"

Beberapa bodyguard memasuki kamar Arkan.

"Ya ampun! Aden!!! Tuan, telpon dokter sekarang. Aden! Aden! Bangun Den!"

"Okay!" Alan meraih ponselnya yang berada di saku jas. Baru saja ia hendak bicara tiba-tiba Arkan sadar.

"No problem. Aku nggak papa," ucap Arkan serak membuat Alan dan para bodyguard dapat bernapas lega sekaligus heran.

"Sekarang jam berapa? Aku mau sekolah," ucap Arkan lalu bangkit sambil menggertakkan otot-ototnya.

"Siapin mobil," titah Arkan pada Pak Aryo. Pak Aryo mengangguk lalu pergi dengan sopan begitupun bodyguard yang lain.

"Arkan?" panggil Alan canggung.

"Hm?" tanya pemuda itu sambil mencari-cari pakaian di lemari. "Oh iya, suruh pembantu bersihin kamar. Kamar Arkan kotor," ucapnya tanpa menoleh pada sang ayah.

Alan mengangguk saja. "Okey... Ayah tunggu di meja makan," ucap Alan lalu pergi.

"Ada yang aneh, nggak biasanya tuh anak pakai kata aku." Celoteh Alan saat menuruni tangga.

"Om," sapa Naura yang ternyata sudah menunggu di depan pintu.

"Eh Naura, mari sarapan. Arkan baikan, dia mau sekolah hari ini," sapa Alan balik lalu menuntun Naura menuju ruang makan.

"Pagi Tante--"

"Apa! Tante!? Emang muka Bunda kayak tante-tante!? Ayah jawab! Bunda udah tua ya!?" cerocos Alin saat Naura datang menyapanya.

"Em, maksudnya. Pagi Bunda!" ulang Naura membuat Alin tersenyum.

"Nasip... Nasip..." ucap Alan pelan lalu duduk dikursinya.

Beberapa menit kemudian, Arkan menghampiri mereka lalu mengecup pipi sang ibu dan dengan lincah menarik selembar roti yang sudah diberi selai cokelat. Naura terdiam menatap Arkan yang sudah duduk diseberangnya.

"Mobil udah siap?" tanya Arkan pada Alan.

"Udah," jawab Alan santai.

"Pagi Arkan, anak Bunda yang paling imut!" Alin tersenyum manis pada Arkan yang langsung dibalas senyuman juga oleh Arkan.

"Arkan," panggil Naura.

Arkan menatap Naura beberapa detik lalu tersenyum tipis. Selesai sarapan bersama, Arkan pun memimpin jalan Naura meninggalkan ruang makan. Sedari tadi Alan memang merasakan ada hal yang aneh dengan anaknya itu terutama caranya berkomunikasi.

"Ayo masuk," titah Arkan pada Naura yang masih berdiri diluar mobil. Naura masuk dengan ragu kemudian memasang sabuk pengaman.

"Kita berangkat ya, Den." Pak Aryo tancap gas meninggalkan istana megah itu.

"Arkan?" panggil Naura saat di perjalanan. "Gue nggak marah sama sekali kok soal kejadian kemarin, intinya lo terbukti nggak bersalah dan jangan ulangin lagi, gue mohon." Naura berucap tulus lain halnya dengan Arkan yang nampaknya acuh tak mendengarkan ucapannya.

"Arkan!" panggil Naura kesal.

"Hah? Kenapa? Sorry gue nggak denger lo ngomong apa tadi?" tanya Arkan namun Naura terlanjur kesal dan memilih mengalihkan pandangannya keluar jendela.

"Sekolah," gumam Arkan menatap gerbang tinggi bertuliskan 'SMA SARANAYA.'

Pak Aryo memarkirkan mobil kemudian turun guna membukakan pintu untuk majikannya.

"Pak, jangan terlambat jemput saya." Ucap Arkan sebelum pergi meninggalkan Naura yang masih berada didalam mobil.

"Aden kok..."

"Arkan berubah ya, Pak?" tanya Naura yang langsung mendapat anggukan dari Pak Aryo.

Arkan tiba dikelas disusul oleh Naura. Seisi kelas menatap tak percaya pada sosok Arkan yang sudah kembali bersekolah. kursi Rehan dan Gilang masih kosong, kebiasaan telat.

Naura memilih duduk disebelah Arkan dan kembali mengajak pemuda itu untuk bicara.

"Arkan, lo masih belum jelasin tentang cewek yang namanya Lara ke gue."

"Arkan! Lo dengerin gue!?"

Arkan menoleh menatap wajah Naura yang terlihat sangat kesal. Saat gadis itu bangkit bersiap pergi seketika Arkan menatan lengannya dan kembali meminta Naura untuk duduk hanya dengan isarat mata. Naura terdiam, kulit Arkan terasa begitu dingin. Apa pemuda itu sakit?

"Lo ngomong apa tadi?" tanya Arkan berhasil membuat Naura berdecak dan kembali mengalihkan pandangannya.

"Gue nanya, lo ngomong apa tadi?" ulang Arkan mendekatkan wajahnya.

"Nggak ada, lupain." Decak Naura. Matanya melotot saat jemari Arkan mencubit pipinya.

"Arkan! Jangan bikin gue--"

"Apa, hm?" tanya Arkan menaikkan satu alisnya.

Naura benar-benar kesal, usahanya untuk membuat Arkan lebih baik seperti permintaan Rehan nampaknya kurang tepat.

"Tuh! Temen-temen lo datang!" Naura menjauhkan posisi kursinya dari Arkan. Arkan mengedarkan pandangannya kedepan tepatnya pada Rehan dan Gilang yang baru memasuki kelas diikuti beberapa siswa lain.

"Aw!" Arkan meringis, kepalanya terasa begitu sakit dalam waktu bersamaan saat Rehan dan Gilang mengajaknya bicara.

"Arkan!"

"Arkan!"

"Arkan!"

Panggil Naura beberapa kali sebelum pandangan Arkan memudar dan gelap seketika. Pemuda itu jatuh pingsan membuat seisi kelas kebingungan.











TBC...
Vote komen dulu ya🙄

Arkan X NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang